PENGALAMAN TAK TERDUGA NAMUN MENYENTUH HATI DI KOTA TUA JAKARTA
Tourism for Us – Kota tua Jakarta tidak hanya terus bersolek tetapi juga berupaya untuk meningkatkan pengalaman pengunjung. Untuk itu, Pemerintah Provinsi (pemprov) Daerah Khusus (DK) Jakarta melakukannya bersama-sama dengan stakeholder pariwisata diantaranya dengan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Jakarta.

Kolaborasi tur berpemandu Kota Tua
Di era di mana semua informasi bisa dicari di ponsel pintar, tur berpemandu (guided tour) akan selalu menawarkan pengalaman lebih dalam dan humanis. Kota Tua Jakarta sebagai sebuah kawasan yang berisi bangunan-bangunan tua bisa ‘hidup’ kembali melalui cerita dan/atau penjelasan dari para pemandu wisata yang membawakannya dengan piawai.
Pemprov DK Jakarta akhirnya mempunyai program wisata yang sesungguhnya di kawasan Kota Tua. Berkolaborasi dengan HPI Jakarta, pemprov melalui Kantor Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua menggulirkan program Free Guided Walking Tour sejak tahun 2023. Program ini sangat membantu pengunjung untuk lebih mengenal lagi kota yang sudah berdiri sejak 496 tahun lalu.
Pengunjung dapat mengikuti salah satu dari lima program Free Guided Walking Tour reguler yang tersedia yakni:
- Kampoeng Tua Sunda Kelapa
- Nostalgia Tembok Kota Batavia
- Secret of China Town Glodok
- Oud Batavia en Emstreken, Then and Now
- Susur Kampoeng Arab Pekojan
Free Guided Walking Tour tersedia Senin-Minggu. Program ini mungkin ditiadakan bila ada kunjungan khusus tamu VIP ke kawasan Kota Tua. Dan tur jalan kaki berpemandu itu menawarkan rute perjalanan berbeda-beda setiap harinya.
UPK Kota Tua menyediakan program tur berpemandu tersebut pada dua waktu yakni pukul 09.30 dan 15.00 WIB. Dan durasi setiap program berbeda-beda.
Program tersingkat dengan rute terpendek seperti Oud Batavia En Emstreken, Then and Now, berdurasi antara 60-90 menit. Rute ini mengitari kompleks bangunan-bangunan bersejarah di kawasan Taman Fatahillah hingga Stasiun Kota. Sedangkan program terjauh seperti Kampoeng Tua Sunda Kelapa dan Susur Kampoeng Arab Pekojan menghabiskan waktu antara 2 hingga 3 jam.
Semua pemandu di program Free Guided Walking Tour Kota Tua Jakarta bisa berbahasa inggris. Diantara pemandu-pemandu itu juga ada yang mempunyai kemampuan berbahasa asing lainnya seperti bahasa spanyol, korea dan portugis.
‘’Ini adalah program pertama Walking Tour di bawah naungan Pemprov DK Jakarta. Alhamdulillah, program sudah berjalan selama satu tahun dan sukses. Program ini sampai sekarang masih berjalan,’’ ujar Pamelita Chaniago, Koordinator Staf Ahli Tour Guide, Spesialis Bahasa Spanyol, Kawasan Kota Tua Jakarta.
Ia pun menambahkan, ‘’Meski pesertanya hanya satu orang program guided walking tour tetap bisa berjalan.’’
Pramuwisata resmi Kota Tua tidak boleh meminta tips. Meskipun demikian, tidak ada larangan peserta program Free Guided Walking Tour memberikan tips sesuai dengan kemampuannya bila dia merasa puas atas layanan yang diberikan.
Jadi, seperti apa Free Guided Walking Tour Kota Tua Jakarta?

Pengalaman tak terduga yang menyenangkan
Usai menghadiri sebuah acara di Hotel Mercure Jakarta Batavia pada minggu terakhir di bulan April lalu, mata penulis tertumbuk di Jembatan Kota Intan. Jembatan cagar budaya yang persis berada di seberang hotel itu sudah selesai dipugar. Matahari yang sedang bersinar sangat terik tidak menyurutkan rasa penasaran ingin melihat jembatan tersebut dari dekat.
Setelah menyeberang jalan yang keadaannya saat itu tidak terlalu ramai, pedestrian di tepi Kali Besar di sekitar Jembatan Kota Intan rupanya juga ikut diremajakan. Lebar pedestriannya sama dengan pedestrian di sekitar Taman Fatahillah sekarang. Di beberapa tempat ada dek pandang sehingga kita bisa memfoto jembatan dari kejauhan. Selain itu juga ada bangku-bangku dari beton untuk beristirahat/bersantai. Pepohonan yang tampaknya belum lama ditanam susah payah menahan tiupan angin yang lumayan kencang siang hari itu.
Setelah menyusuri pedestrian dari Jembatan Kota Intan, penulis masuk ke Taman Fatahillah, pusat Kota Tua Jakarta, dari Jalan Kunir. Pasar Kota Tua menjadi tempat pertama yang disambangi.
Pasar Kota Tua menempati lantai bawah sebuah bangunan di hook di lorong pertama. Posisinya di seberang halte bis TransJakarta Fatahillah. Pasar ini tampaknya menjadi salah satu tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang sebelumnya berjualan di lorong-lorong di kawasan ini. Di situ dijual baju-baju bertuliskan ‘Jakarta’, aksesoris dan lain-lain.
Pasar ini terhubung langsung dengan Kantin Kota Tua. Kantin ini juga tampakya merupakan salah satu tempat relokasi PKL yang menjajakan makanan dan minuman yang dahulu menempati lorong-lorong di kawasan itu. Di belakang kantin dibuat sebuah panggung kecil
Kios-kios di bagian depan kantin sudah ditempati lebih dari setengahnya. Namun di bagian belakang, masih banyak kios kosong. Meja dapur dan tempat cuci piring permanen telah disiapkan di setiap kios.
Selain jajanan populer juga ada makanan dan minuman kekinian. Harganya rata-rata cukup terjangkau. Kantin Kota Tua pun dilengkapi dengan toilet dan mushola.

Lorong-lorong di Taman Fatahillah sekarang lebih resik dan rapih. Para pengunjung berjalan di bawah bayangan gedung-gedung tua. Di ujung lorong, pikiran penulis melayang: mungkin inilah yang dibayangkan oleh para petinggi VOC saat itu, membangun rumah (home) di perantauan, membawa The Netherlands ke tanah Jawa.
Sebuah bangunan kecil berwarna putih dengan jendela melengkung dan penanda ‘Tourist Information Center’ langsung menyedot pehatian penulis. Tak ada lagi ‘Tourist Information Center’ (TIC) di tenda seadanya. Seorang perempuan muda masuk ke TIC. Dan penulis pun mengikutinya.
Seorang staf sedang menerangkan sesuatu dalam bahasa inggris kepada pengunjung perempuan tadi. Setelah melihat-lihat booklet yang disodorkan oleh seorang staf lainnya, penulis diberitahu ada program guided walking tour yang akan segera dimulai. Dan program itu free alias gratis.
Program free guided walking tour pada hari Senin sore itu adalah ‘’Oud Batavia en Emstreken, Then and Now’’. Ini adalah program tur tersingkat. Durasinya antara 60 sampai 90 menit. Rutenya dari Taman Fatahillah sampai ke Stasiun Kota. Senyuman di wajah-wajah staf TIC meluluhkan niat penulis yang hendak ke Stasiun Kota.
Peserta program tur sore hari itu kebetulan hanya penulis seorang. Jadi rasanya seperti mengikuti private tour. Semakin merasa istimewa karena ditemani oleh dua orang pemandu, Kakak Pamelita yang fasih berbahasa spanyol dan Kakak Arif. Sebelum memulai tur, peserta diminta untuk mendaftar melalui akun resmi UPK Kota Tua Jakarta di Instagram @kotatua.jkt (centang biru).
Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Tur dimulai dari depan Museum Seni Rupa dan Keramik. Pemandu menjelaskan bahwa bangunan itu adalah bangunan termuda dari era kolonial yang ada di kawasan Kota Tua. Bangunan tersebut dahulu adalah kantor Pengadilan. Pada masa pendudukan Jepang, gedung diambil alih untuk kebutuhan tentara Jepang. Dan akhirnya gedung tersebut difungsikan sebagai museum sejak masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin sampai sekarang.
Kemudian di depan Cafe Batavia, pemandu menjelaskan, bangunan yang ditempati kafe dahulu adalah rumah kediaman gubernur jenderal. Jadi, pejabat tertinggi di Hindia Belanda cukup berjalan kaki menuju kantornya yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta atau lebih dikenal dengan Museum Fatahillah.
Tidak jauh dari Cafe Batavia, ada bagian yang dilindungi kotak kaca. Di dalam kotak kaca itu pengunjung dapat melihat sisa rel trem. Pemandu mengatakan, rel tersebut tersambung hingga dekat pelabuhan pada masanya.

Meriam Si Jagur ditempatkan kembali di area publik. Pengunjung tak perlu lagi masuk ke dalam museum untuk melihatnya. Meriam bersejarah itu sekarang dipagari. Di sini, Kakak Pamelita tidak hanya menjelaskan secara lisan tetapi juga memperlihatkan foto-foto lawas pada saat meriam tersebut ditemukan. Penjelasan dan alat peraga membuat cerita tentang Si Jagur semakin menarik.
Kemudian kami bergeser ke depan Museum Wayang. Bangunan yang ditempati museum dahulu merupakan sebuah gereja. Pemandu menerangkan, bangunan tidak dirancang seperti yang ada sekarang. Kakak Pamelita memperlihatkan lagi gambar-gambar desain awal mula bangunan. Bagi penyuka arsitektur, ini tentu akan memberikan pengalaman yang lebih komprehensif.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju lorong yang sempat penulis lihat sebelum tur. Kami berhenti sejenak di samping gedung itu. Ah! Siapa sangka, gedung kokoh yang penulis lihat tadi dahulu merupakan sebuah tempat pertemuan ternama. Di situ orang-orang Belanda tidak hanya bersosialisasi tetapi juga menjadi tempat untuk memilih pribumi yang akan dijadikan budak.
Lalu, kami memasuki Jalan Kali Besar Timur. Selagi kami berteduh di bawah pohon, Kakak Arif menunjuk ke satu gedung. Bukan sekali ini penulis melihat gedung yang ditunjuk. Namun, penjelasannya membuat penulis tercekat.

Gedung yang ditunjuk oleh pemandu dirancang oleh Friendrich Silaban. Salah seorang arstitek terkemuka Indonesia yang merancang Masjid Istiqlal, Monumen Nasional (Monas) dan Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Selain gedung di Jalan Kali Besar Timur, jejak rancangan lain arsitek Silaban adalah kompleks gedung Bank BNI di sebelah Stasiun Kota.
Kawasan Kota Tua Jakarta tidak hanya berisi bangunan-bangunan dari masa kolonial Belanda tetapi juga dari era awal kemerdekaan Republik Indonesia. Bangunan-bangunan yang dirancang oleh Silaban sangat berbeda dibandingkan dengan gedung-gedung klasik Eropa di sekitarnya.
Apapun alasan Soekarno, salah seorang bapak pendiri bangsa dan Presiden pertama RI, meminta Silaban membangun gedung-gedung baru di kawasan Kota Tua Jakarta, itu seakan mewujudkan keinginan beliau untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia juga mampu membangun apa yang bangsa-bangsa penjajah pernah buat. Keberadaan gedung-gedung tersebut terasa seperti sudah disiapkan oleh Bung Karno untuk mengingatkan setiap generasi agar ‘’Jangan sekali-kali melupakan sejarah!’’
Selagi kami menuju Stasiun Kota, Kakak Arif lagi-lagi menunjuk pada sesuatu yang sudah dilihat bahkan diinjak oleh penulis setiap kali memasuki kawasan Kota Tua dari Jalan Pintu Besar Utara di depan Museum Bank Indonesia. Dia menunjuk plat besi yang melintang di jalan. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran itu adalah rel trem yang pernah melintasi kota dari selatan ke utara. Rel tersebut tersambung dengan sisa rel yang ada di dalam kotak kaca tadi.
Sebelum menyeberang, kami berhenti sebentar menghadap ke arah selatan. Segaris lurus dari tempat kami berdiri, di sekitar kawasan Glodok, proyek kereta bawah tanah (MRT) fase 2 tengah berlangsung.
Di depan Stasiun Kota ada sebuah jam. Pemandu menerangkan, jam itu sudah ada sejak masa kolonial. Bangunan jam tersebut bukan hanya penunjuk waktu semata tetapi juga sebagai alat pengukur ketinggian air ketika banjir merendam Batavia.
Stasiun Kota merupakan stasiun kereta api besar ketiga yang dibangun oleh Belanda. Stasiun kereta di Batavia dibangun seperti stasiun kereta di Eropa. Di mana di depan stasiun ada lapangan besar. Dan konsep itu dikembalikan lagi sekarang.
Kami langsung menuju Museum MRT Jakarta yang berada di dalam Stasiun Kota. Di situ pengunjung bisa melihat artefak-artefak yang ditemukan saat penggalian terowongan. Pengunjung pun dapat melihat rute dan maket kereta bawah tanah menuju Kota Tua.

Tur berakhir di depan signage ‘’Jakarta Kota Kolaborasi’’. Setelah berfoto bersama, kami akhirnya berpisah. Waktu menunjukan hampir setengah lima. Dan penulis pun bergegas memasuki pintu utara Stasiun Kota bersama komuter lainnya.
Sungguh! Itu sebuah pengalaman menyenangkan tak terduga dalam perjalanan pulang. Sayang sekali, semua museum yang berada di Taman Fatahillah tutup pada hari itu. Bagaimanapun, hal tersebut tidak mengurangi pengalaman yang penulis rasakan.
Kawasan Kota Tua Jakarta dahulu merupakan pusat pemerintahan Batavia. Di situ dibangun kantor pemerintahan serta kantor-kantor bank dan perusahaan niaga, rumah gubernur jenderal, sebuah gereja, rumah sakit dan pengadilan serta stasiun kereta api. Orang-orang yang baru pertama kali menjejakan kaki di tanah Jawa, di Pelabuhan Sunda Kelapa, akan melewati gerbang sebelum memasuki kawasan Taman Fatahillah saat ini. Kawasan ini dahulu sebenarnya berada di dalam benteng dan menjadi beranda terdepan kota Batavia.
Deretan museum di kawasan Kota Tua merupakan tempat memelihara sejarah bangsa Indonesia, sumber ilmu pengetahuan dan inspirasi. Generasi sekarang memilih restoran, kafe dan kantin untuk menikmati suasana kota Batavia di abad Milenium. Dan menjelang senja, pedestrian di Jalan Kali Besar Timur diramaikan oleh pengunjung terutama anak-anak muda dan remaja yang melakukan berbagai kegiatan seperti fotografi, latihan tarian modern hingga skateboard.
Eksistensi kawasan Kota Tua Jakarta sebagai melting pot berbagai bangsa dan budaya tetap bertahan melintasi abad dan era. Seiring dengan telah runtuhnya semua tembok Benteng Batavia, kawasan ini menjelma menjadi kawasan terbuka, tak lagi tersekat-sekat. Siapa saja boleh datang ke sini baik untuk menikmati sejarahnya, arsitekturnya, ragam kulinernya, rehat/bersantai, atau bahkan hanya melintasinya saja.***(Yun Damayanti)
