PANTAI TIGA WARNA, KABUPATEN MALANG: PEMIKIRAN PROGRESIF DAN SEMANGAT GOTONG-ROYONG MEMBANGUN PARIWISATA BERBASIS KOMUNITAS
Tourism for Us – Dari seluruh pantai yang ada di Indonesia, hanya di pantai Tiga Warna, Kabupaten Malang, yang tidak takut memberlakukan sistem reservasi dan kuota. Pengelola pantai juga tegas terkait sampah pengunjung: ‘’Sampahku Menjadi Tanggung Jawabku’’, begitu moto yang tertera di Form Checklist Barang Bawaan. Ketetapan hati warga Dusun Sendangbiru merawat kembali ekosistem lingkungan di sekitar desanya terbukti tidak membuat wisatawan menjauh. Dan tidak pernah terbersit sekalipun, sebenarnya upaya mereka itu telah menyelamatkan cagar alam di Pulau Sempu yang berada di seberang CMC Tiga Warna.

Saptoyo, Founder CMC Tiga Warna (kanan).
(Foto: Yun Damayanti)
‘’Hutan kami habis. Terumbu karang habis. Apalagi yang kami miliki? Semua hilang. Jadi kalau ada keindahan tentang kebaikan sumber daya alam di tempat kami, itu hanya cerita saja. Makanya kami berusaha membangun kembali apa yang dulu pernah ada,’’ tutur Saptoyo, Founder Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna, mengawali obrolan kami.
Sapto, begitu panggilan akrabnya, melanjutkan, ‘’Kami sudah terlanjur mencintai di sini. Kalau dia ada tekanan, kami merasakan. Ibaratnya ekosistem itu sambat ke kami. Sehingga kami harus lindungi ini.’’
Area pesisir di pantai Tiga Warna dan sekitarnya pernah rusak. Kerusakan terjadi setelah alih fungsi lahan untuk praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan. Kemudian lahan itu dibeli kembali oleh warga, sedikit demi sedikit. Lalu ditanami.
Proses konservasi dimulai sejak tahun 2005. Pemulihan ekosistem sudah berlangsung selama 19 tahun dan masih terus berjalan. Menurut Sapto, hutan yang dikelola CMC Tiga Warna seluas 120 hektar.
‘’Itu lahan yang sudah kita pulihkan. Lahan yang sudah kita pastikan jadi hutan kembali,’’ ujar Sapto.
Pohon-pohon mangrove tumbuh subur. Mereka siap membentengi lagi kehidupan warga di pesisir selatan Kabupaten Malang. Kepiting biola biru dan kepiting biola capit kuning (Uca sp.) pun sudah kembali bersarang di lumpur di mana pohon mangrove hidup. Jenis kepiting itu merupakan garda terdepan dalam ekosistem mangrove. Dan sekarang mereka juga menjadi atraksi unik bagi pengunjung.
Pemikiran progresif dan semangat gotong-royong warga desa membangun pariwisata berbasis komunitas (CBT)
Sapto tidak pernah berniat untuk menjadikannya sebagai tujuan wisata ketika dia bersama beberapa orang warga memulai reboisasi. Dia mengingat kembali saat mulai menerima kunjungan pada tahun 2014.
‘’Selama 2005-2014 murni konservasi. Tidak disangka, tahun 2014 ada orang yang datang. Tidak diundang. Ya, itu harus dikelola. Karena nanti kalau tidak dikelola akan rusak apa yang sudah kita bangun ini,’’ kata Sapto.
Langkah pertama yang dilakukan adalah bagaimana mengelola setiap orang yang datang ke area pantai Tiga Warna. Salah satunya adalah sampahnya harus terkendali.
‘’Dari sini kita juga ingin mengajak teman-teman untuk sadar bahwa sampah itu ada karena kita hidup. Makanya tidak bisa serta merta kita melimpahkan residu hidup ini kepada orang lain. Itu yang harus ditanggungjawabi sendiri. Nilai-nilai itu yang kami ingin mengajak semua untuk belajar. Belajar itu kan harus melakukan,’’ jelasnya.
Untuk mengatur sampah yang dibawa oleh pengunjung maka terbersitlah ide Form Checklist Barang Bawaan. Pantai Tiga Warna sudah memberlakukan Checklist ini sejak pertama kali menerima pengunjung pada tahun 2014. Sapto mengakui, mereka akhirnya menemukan formula sistem yang pas pada awal 2015 dan itu yang berjalan sampai sekarang.
‘’Hasilnya? Ya, orang-orang marah-marah pada waktu itu. Tetapi, sekarang mereka sudah bisa menerimanya dengan baik. Karena ini sudah tersosialisasikan. Orang sudah siap ke sana. Apalagi kita kan sekarang menggunakan sistem reservasi,’’ katanya.
Agar konservasi bisa terus berjalan dan wisatawan tetap dapat berkunjung, dipilihlah jalan membatasi jumlah kunjungan. Pembatasan jumlah kunjungan dimulai secara sederhana saja yakni dengan menggunakan perasaan.
Sapto menerangkan, kuota pengunjung baru ditetapkan pada 2016. Sebelumnya, bila dirasakan pengunjung sudah terlalu banyak di dalam area maka warga yang bertugas di pos jaga di pintu masuk diminta untuk menghentikan sementara pengunjung yang datang. Sampai akhirnya mereka meminta tolong kepada para akademisi di perguruan tinggi untuk diperhitungkan kapasitasnya.
‘’Akhirnya kami bekerja sama dengan teman-teman di perguruan tinggi. Ada metode untuk menentukan kapasitas ini. Ketika sudah tahu semua carrying capacity-nya, kita sudah tahu nih berapa animo tamunya, jadi kita juga bisa tahu berapa reservasi yang bisa kita terima,’’ kata Sapto.
Maka dia menyarankan agar pengunjung yang mau datang ke pantai Tiga Warna untuk membuat reservasi terlebih dahulu. Jadi pengunjung sudah pasti mendapatkan kuota. Walaupun mereka bisa saja datang langsung karena pantai ini bisa diakses dari Kota Malang sekitar 2,5 jam perjalanan darat.

Snorkeling di pantai Tiga Warna, Malang. (Foto: CMC Tiga Warna)
Khusus di pantai Tiga Warna, kuota pengunjung ditetapkan hanya 300 sampai 400 orang dalam sehari. Pantai ini dapat mengakomodasi 100 orang selama dua jam. Ya, betul. Waktu kunjungan ke pantai itu dibatasi dua jam! Karena mesti bergantian dengan pengunjung lainnya.
Sedangkan pantai Clungup dan Gatra yang berfungsi sebagai tempat transit sebelum ke Tiga Warna bisa menampung sampai 600 pengunjung. Total kunjungan yang bisa diakomodasi di CMC Tiga Warna sebanyak 1000 orang dalam sehari.
Sapto menambahkan, mereka masih menutup dua pantai dari kunjungan. Di situ hanya diperuntukkan konservasi agar ekosistem di pinggirnya betul-betul pulih. Alasan lainnya, mereka yakin pada suatu saat pantai Tiga Warna, Clungup dan Gatra akan mencapai titik jenuh. Sedangkan atraksi di destinasi harus berkembang terus. Maka dari itu, daya tarik yang ada di pantai-pantai dikembangkan satu per satu.
Biaya tiket masuk ke CMC Tiga Warna hanya Rp 10.000,00 per orang. Sapto mengatakan belum terpikirkan untuk membedakan harga tiket masuk bagi pengunjung asing.
Dari pendapatan bersih yang diterima CMC Tiga Warna sebesar 25 persen dikembalikan untuk konservasi. Sebanyak 25 persen lainnya digunakan untuk menyiapkan pendanaan untuk perencanaan pengembangan. Dan 50 persennya untuk operasional harian.
Para petugas di CMC Tiga Warna ialah warga desa. Mereka bekerja harian. Masing-masing mempunyai posisi: ada petugas jaga, petugas yang menanam, petugas yang merawat tanaman, hingga yang menjaga ekosistem. Dan semua itu dibiayai dari dana operasional harian.
Selain tiket masuk, ada biaya jasa kepemanduan sebesar Rp 150.000,00 untuk satu kali trip dengan jumlah peserta maksimal 10 orang. Namun, pemandu lokal sudah sepakat hanya akan mengambil setengahnya saja. Setengah dari biaya jasa kepemanduan yang diterima dikumpulkan di kas harian. Agar teman-temannya yang pada hari itu bekerja bersamaan dan tidak mendapat bayaran, mungkin mengerjakan pekerjaan yang lain-lain, juga tetap bisa mendapatkan penghasilan.
CMC Tiga Warna dan Pulau Sempu saling melindungi
Pulau Sempu telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1928. Pulau seluas 877 hektar ini menjadi benteng ekosistem dan plasma nutfah di pesisir selatan Malang. Pulau itu berdiri di depan area CMC Tiga Warna. Maka otomatis pulau tersebut menjadi tanggul laut alami yang menjaga pantai-pantai di belakangnya dari terjangan gelombang ganas Samudera Indonesia.
Dengan statusnya sebagai cagar alam, kunjungan selain petugas dan peneliti dilarang. Tetapi beberapa waktu lalu, keindahan alam tersembunyi di Pulau Sempu sempat tersingkap dengan beredarnya foto-foto dari wisatawan yang berkunjung dan berkemah di sana. Bahkan bila kita melihat di Google Map sampai sekarang masih ada markah tempat-tempat wisata di situ. Sekarang pemerintah melarang keras kunjungan wisatawan ke sana.
Ada enam pantai di dalam kawasan yang dikelola CMC Tiga Warna yakni Clungup, Gatra, Sapana, Mini, Batu Pecah, dan Tiga Warna. Pantai-pantai itu bisa ditelusuri dengan berjalan kaki ataupun sewa kendaraan dari pengelola. Selain melalui jalan darat, bila cuaca memungkinkan, pengunjung juga bisa mengaksesnya dari laut.
Pantai Clungup dan Gatra merupakan pantai-pantai transit sembari menunggu waktu kunjungan ke pantai Tiga Warna. Area di Clungup ditutupi hutan mangrove. Di sini pengunjung bisa berkano. Dan bila pas waktunya, pengunjung juga dapat mengamati kehidupan kepiting biola.
Sedangkan di pantai Gatra, pengunjung bisa berkano atau bersantai di hamparan pasir putih. Bagi wisatawan yang ingin bermalam, tersedia bumi perkemahan (camping ground) berkapasitas hingga 75 tenda di area pantai ini.
Pantai Tiga Warna, daya tarik utama, merupakan pusat terumbu karang. Di sini bisa snorkeling dan diving. Terumbu karang yang pengunjung lihat sekarang merupakan hasil transplantasi terumbu karang baru.
Pengelola menyediakan persewaan kano, peralatan snorkeling dan diving hingga perlengkapan berkemah. Kafetaria juga tersedia agar pengunjung tidak kelaparan dan kehausan.
Selain itu, CMC Tiga Warna juga dilengkapi dengan tiga dermaga, pos-pos untuk pengecekan Form Checklist Barang Bawaan, administrasi, pemandu dan ojek. Lapangan parkir pun tersedia di pintu-pintu masuk.
CMC Tiga Warna dikunjungi 3.000-4.000 orang per bulan. Dengan sanksi denda Rp 100.000,00 per item bila tidak bisa mengkonfirmasi jumlah barang bawaan pada saat masuk sama dengan pada saat keluar, area ini dijamin bersih dan bebas sampah.
Selain area-area pantainya menawarkan suasana bak pantai-pantai perawan, hutan sekunder yang sudah terbentuk kembali, pembatasan jumlah kunjungan menjadikannya jauh dari hiruk-pikuk tempat wisata massal. Pengunjung dapat menikmati pengalaman yang serupa dengan Pulau Sempu di CMC Tiga Warna. Dan dari pantai Tiga Warna pengunjung masih bisa melihat pulau cagar alam tersebut tanpa mengganggunya.
CMC Tiga Warna memang bukan kawasan taman nasional atau cagar alam. Seyogianya, para pengunjung menghormati upaya konservasi oleh warga lokal. Mereka hanya ingin mengembalikan lingkungan yang pernah dimilikinya. Bahkan alam pun berhak mendapat kesempatan kedua. ***(Yun Damayanti)
