URGENSI PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM SECARA KONSISTEN DI BALI
Tourism for Us – Kuta-Legian, Nusa Dua, Sanur dan Ubud kemudian Seminyak dan sekarang Canggu merupakan kawasan-kawasan yang sudah sangat melekat sebagai BALI di benak wisatawan. Lokasinya yang dekat dengan bandara dan alam yang indah membuat kawasan-kawasan itu menjadi tujuan favorit wisatawan.
Bali masih membutuhkan wisatawan
Keberadaan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai semakin memperkuat daya tarik Pulau Bali bagian selatan. Keberadaan bandara ini mempermudah aksesibilitas ke kawasan-kawasan tujuan favorit wisatawan itu.
Wisman rindu menikmati alam,budaya dan hospitality Bali.(Foto: Birkompublik Kemenparekraf)
Konsentrasi wisatawan baik mancanegara maupun domestik di kawsan-kawasan tersebut memicu pembangunan infrastruktur dan fasilitas pariwisata yang sangat pesat. Peluang pengembalian investasi (return of investment) yang tinggi membuat semua investor membanjiri kawasan-kawasan tersebut. Pada akhirnya, pembangunan di Bali selatan cenderung semakin tidak terkendali dibandingkan daerah lain.
Ketua Umum Indonesia Inbound Tour Operator Association (IINTOA) Paul Edmundus Tallo mengatakan, jumlah wisatawan yang membludak terjadi di Sanur, Nusa Dua, Kuta, Canggu, Legian, Ubud dan Seminyak. Kecuali Ubud, itu semua berada di daerah selatan. Di Bali bagian utara, barat dan timur jumlah turisnya tidak membludak.
Di kesempatan lain, Ketua DPD ASITA Bali Putu Winastra juga mengungkapkan pandangan yang sama. Bahwa hanya di kawasan-kawasan tertentu terjadi kepadatan wisatawan yang luar biasa. Pulau Bali secara keseluruhan dibandingkan dengan kawasan-kawasan tersebut saja tentu tidak apple-to-apple.
‘’Terkait kunjungan, sekarang banyak orang mengatakan overtourism. Kami bilang, sebagai pelaku, belum melalui hal itu. Karena kalau dilihat dari sisi Nusa Dua, Kuta, Seminyak, Canggu, ya. Tapi kan Bali tidak bisa apple-to-apple dengan area-area tersebut. Kami masih punya Jembrana, Singaraja, Buleleng, Tabanan, Bangli, Klungkung, Karangasem, yangmana kunjungannya jauh di bawah daripada di area-area yang saya sebutkan tadi,’’ jelas Winastra.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Bali total 3.528.899 pada periode Januari-Juli 2024. Jumlah ini naik 22,18 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023.
Selama setengah tahun pertama 2024, rata-rata pertumbuhan wisman ke Bali sebesar 48,95 persen. Dan rata-rata kedatangan sebanyak 505.557 wisman per bulan.
Masih menurut data BPS Bali, sampai dengan tahun 2023 tersedia 54.184 kamar di semua kelas hotel (bintang 5 hingga bintang 1). Jumlah hotel berbintang sebanyak 541 unit. Sementara ini, rata-rata tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang dari Januari-Juli 2024 baru mencapai 60,37 persen.
Selain hotel, wisatawan juga tinggal di vila. Jumlah vila di Bali belum ada data pasti dan resmi.
Dari informasi yang dihimpun oleh penulis, pelaku industri pariwisata di Bali memperkirakan ada sekitar 5000 unit vila sampai saat ini. Dengan asumsi setiap vila rata-rata memiliki lima kamar maka saat ini tersedia sekitar 22.000 kamar.
Dari segmen pasar wisman sendiri, bila jumlah kamar di hotel berbintang pada 2023 dan perkiraan jumlah kamar di vila sampai saat ini digabungkan, kemudian dibagi dengan rata-rata jumlah kunjungan wisman ke Bali hingga Juli 2024, maka setiap unit akomodasi (hotel bintang dan vila saja) rata-rata hanya terisi 6-7 kamar per bulan. Angka tersebut masih mungkin bisa lebih kecil atau lebih besar di lapangan. Karena segmen pasar wisatawan domestik belum terhitung. Dan itu pun belum terhitung berapa besar persewaan tempat tinggal melalui aplikasi daring seperti AirBnB.
Merujuk pada tingkat hunian akomodasi tadi, sekaligus menanggapi isu overtourism, Paul berujar ‘’Itu menunjukkan Bali masih membutuhkan turis.’’
Dibutuhkan Segera: Jaringan Jalan Raya di Bali
Bali akan terus melihat peningkatan volume kunjungan wisatawan. Karena pulau ini menjadi destinasi utama dan primadona baik bagi orang Indonesia maupun warga dunia.
Sektor pariwisata di Pulau Dewata yang semakin manis telah menarik lebih banyak pendatang terutama warga dari daerah/pulau lain yang berdekatan untuk bekerja dan tinggal di sana. Dari situ saja sudah menambah populasi penduduk di pulau. Pertambahan penduduk dan jumlah wisatawan yang terus meningkat akan membuat kebutuhan konektivitas dan kendaraan semakin cepat.
Baik Paul maupun Winastra sama-sama mengungkapkan pandangannya yakni konektivitas di darat menjadi permasalahan utama di Bali. Pertumbuhan jaringan jalan raya tidak sebanding dengan pertumbuhan permintaan atau pertumbuhan kendaraan.
Paul menggambarkan, jalan-jalan di Bali kecil. Pilihan jalan-jalan lain juga minim. Sementara permintaan terus meningkat tetapi jalannya tetap.
Selain itu, jalur tengah pulau yang menguhubungkan antara selatan dan utara hanya ada satu yaitu lewat Bedugul. Karena di situ pemandangannya bagus maka semua lewat situ. Akhirnya menimbulkan kemacetan. Sedangkan jalur barat dan timur tidak dibangun.
‘’Solusi pertama, menurut saya, bangun jalan atau perlebar jalannya. Bangun jalan layang kalau tidak bisa membangun atau melebarkan jalan. Bali sekarang membutuhkan road network,’’ kata Paul.
Sementara Winastra menekankan betapa Bali harus mempunyai perencanaan yang matang terkait aksesibilitas di darat.
Paul juga melihat urgensi untuk menghentikan pembangunan pariwisata di selatan. Pembangunan pariwisata itu mesti merata ke seluruh Pulau Bali.
‘’Stop bangun hotel, beach club, dan lain-lain. Selama ini, pembangunan pariwisata terkonsentrasi di Bali selatan. Itu karena bandaranya ada di Bali selatan. Sebarkan pembangunan pariwisata ke daerah-daerah lain di Bali,’’ Paul menerangkan.
‘’Sekarang yang terpenting adalah membuka jalan atau akses darat ke berbagai daerah di Bali. Jika bangun jalan tidak bisa, melebarkan jalan pun tidak bisa, ya, solusi ketiganya barulah bangun airport di utara,’’ tambahnya.
Sedangkan untuk mengembangkan konektivitas melalui jalur laut di Bali, yang mana juga sangat potensial, menurutnya, membutuhkan biaya tinggi.
Desa Penglipuran.(Foto: Yun Damayanti)
Perkuat pengawasan dan tegakkan peraturan terhadap semua wisman di Bali
Selain perubahan fisik yang semakin mengkhawatirkan, pelaku pariwisata juga semakin cemas terhadap masa depan tradisi dan budaya Bali. Winastra mengingatkan, Bali sekarang bukan hanya dipenuhi oleh wisatawan saja tetapi juga para pendatang. Bahkan para pendatang ini ditengarai tidak terkendali.
Selain pendatang domestik, pendatang dari mancanegara juga semakin banyak. Bahkan, kehadiran pendatang dari mancanegara ini sudah menimbulkan gesekan-gesekan sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari di Bali.
‘’Ini juga menjadi tantangan buat pemerintah ke depan. Apa yang harus dilakukan. Karena kalau sampai hal-hal seperti ini terus terjadi, nanti malah orang bali yang keluar. Kalau orang bali keluar, siapa yang akan menjaga budaya dan tradisi. Sedangkan jiwa pariwisata Bali adalah pariwisata budaya, pariwisata tradisi. Nah, kalau pelaku budayanya tidak ada, siapa yang akan mempertahankan. Menurut saya, ini memang harus benar-benar dikuatkan. Diantaranya dengan cara membuat aturan-aturan,’’ tambahnya.
Bekerja dari mana saja, atau digital nomad, sudah menjadi norma yang semakin umum di manapun pascapandemi Covid-19. Memang banyak negara mengambil kebijakan untuk memberikan beragam fasilitas kemudahan bagi pekerja nomad untuk memasuki dan izin tinggal di negaranya selama pandemi. Kebijakan tersebut dilakukan agar sektor perjalanan dan pariwisata tetap bisa berjalan pada waktu itu.
Sekarang pekerja digital nomad dilihat sebagai salah satu segmen pasar pariwisata berkualitas. Karena mereka cenderung tinggal lebih lama sehingga diharapkan untuk berbelanja lebih banyak selama di destinasi. Bahkan Indonesia berharap lebih jauh, mereka pun mau berinvestasi dan terjadi knowledge transfer.
Ketua DPD ASITA Bali tidak mempermasalahkan nomad worker/digital nomad asing selama mereka diawasi. Agar jangan sampai mereka memanfaatkan celah-celah dari regulasi yang ada untuk bekerja di sini apalagi sampai merebut lapangan pekerjaan warga lokal.
‘’Ini fakta yang ada. Mereka datang ke Bali dengan visa liburan. Mereka bekerja bahkan sampai overstay di sini. Selama ini ada yang mengawasi atau tidak?,’’ kata Winastra.
Pengawasan dan penegakan hukum merupakan kelemahan dalam pariwisata Indonesia. Pemerintah memang telah membuat seperangkat regulasi. Tetapi tanpa konsistensi dalam mengawasi dan menerapkan peraturan akan membuat siapapun dapat meremehkannya.
‘’Terkait perilaku wisman di Bali sekarang yang pertama harus dilakukan adalah law enforcement. Terutama dari Imigrasi. Law enforcement harus ditegakan kepada semua warga negara asing,’’ tegas Paul.
Kebijakan (policy) memegang peran penting. Paul berpendapat, petugas Imigrasi dan para peneguk hukum lainnya tidak perlu takut dengan isu hak asasi manusia (HAM) ketika menerapkan peraturan yang berlaku di Indonesia.
‘’Apakah kita perlu ikut-ikutan memberikan visa selama 5 tahun? Menurut hemat saya, berikan saja visa enam bulan. Setelah itu, dia harus keluar dari Indonesia,’’ kata Paul.
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum telah menimbulkan dampak-dampak negatif dari kegiatan pariwisata menjadi semakin kompleks di Bali. Di antaranya, penyerobotan lahan usaha warga lokal oleh warga negara asing.
‘’Ini juga harus dibenahi. Misal, ketika orang mau bekerja di Bali, mereka harus following the rule. Kemudian, kalau mau berusaha, ya, tidak harus dibuat terlalu mudah dan murah. Di Bali harus dibuat lebih mahal daripada daerah-daerah lain yang juga membutuhkan investasi-investasi,’’ kata Winastra.
Dia pun mencontohkan, orang Indonesia tidak akan berani berbuat macam-macam ketika bepergian ke Singapura dan negara-negara lain. Karena bila kita melanggar peraturan, misalnya tidak menggunakan pemandu lokal saat membawa grup tur, maka pemandu dari Indonesia itu akan langsung ditangkap oleh petugas berwenang di sana.
Bagaimanapun, pariwisata Indonesia sangat membutuhkan beragam fasilitasi perjalanan mulai dari E-visa, visa on arrival (VoA) hingga Free Visa. Selain pemasaran pariwisata yang gencar secara online dan offline, fasilitasi perjalanan turut mempengaruhi keputusan wisatawan mau berkunjug ke destinasi. Seiring dengan pemberian fasilitasi perjalanan itu maka kita sebagai tuan rumah juga harus siap dengan konsekuensi untuk mengawasi secara ketat dan menerapkan peraturan terhadap semua orang asing yang datang.
Penegakkan hukum tidak akan menjauhkan wisman untuk berkunjung ke Indonesia. Tetapi, mereka akan mengurungkan niat datang ke sini, seberapapun kerasnya promosi dilakukan, bila kita tidak menawarkan fasilitas kemudahan perjalanan ke sini.
Ingatlah selalu bahwa di antara penumpang yang baik akan selalu ada penumpang yang buruk. Destinasi-destinasi lain harus memperhatikan dengan seksama bagaimana pariwisata Bali menghadapi setiap permasalahan yang muncul. Karena bukan tidak mungkin, destinasi-destinasi lain akan menghadapi permasalahan yang sama di kemudian hari.***(Yun Damayanti)