Tag: free visa

INDONESIA BUKA LEBIH BANYAK TPI DAN MENAMBAH NEGARA PENERIMA FASILITAS PERJALANAN; VOA TETAP RP 500 RIBU

INDONESIA BUKA LEBIH BANYAK TPI DAN MENAMBAH NEGARA PENERIMA FASILITAS PERJALANAN; VOA TETAP RP 500 RIBU

Tourism for Us – Pemerintah Indonesia membuka lebih banyak tempat pemeriksaan imigrasi (TPI/Immigration checkpoints) di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas. Selain itu, pemerintah juga menambah daftar negara penerima fasilitas perjalanan Visa on Arrival (VoA) khusus wisata. Syarat dan ketentuan VoA tidak banyak perubahan. Biaya [more]

KEPRI JADI DESTINASI PERTAMA TERAPKAN VOA DAN BVK KHUSUS WISATA

KEPRI JADI DESTINASI PERTAMA TERAPKAN VOA DAN BVK KHUSUS WISATA

Tourism for Us – Kepulauan Riau (Kepri) menjadi destinasi pertama di Indonesia yang menerapkan fasilitas perjalanan Visa on Arrival (VoA) dan Bebas Visa Kunjungan (BVK) Khusus Wisata. Peraturan baru ini berlaku efektif mulai 22 Maret 2022. Dengan peraturan baru tersebut, warga negara Singapura maupun warga [more]

OPERATOR TUR INBOUND BERHARAP PEMERINTAH BIJAKSANA DALAM MEMUTUSKAN ATURAN VISA YANG BARU

OPERATOR TUR INBOUND BERHARAP PEMERINTAH BIJAKSANA DALAM MEMUTUSKAN ATURAN VISA YANG BARU

Tourism for Us – Jika pemerintah tidak bijaksana memutuskan peraturan visa yang baru dalam kerangka persiapan reopening dan rebound, pariwisata inbound Indonesia terancam kesulitan meyakinkan wisatawan mancanegara mau berkunjung ke sini. Klaim yang mengatakan kebijakan bebas visa kepada 169 negara yang diberlakukan sejak 10 Maret 2016 tidak memberi manfaat sama sekali terhadap pariwisata dan perekonomian Indonesia, sangat baik dikaji ulang bersama-sama antara pemerintah dan pelaku industri pariwisata inbound. Karena ada berbagai masalah yang sudah lama terjadi belum terselesaikan dan faktor-faktor yang kait-mengait yang mempengaruhi kebijakan tersebut belum dapat mencapai hasil sesuai yang ditargetkan oleh pemerintah.

Free Visa jadi bagian dari promosi pariwisata Indonesia.(Foto: Kemenparekref)

Meniadakan kebijakan bebas visa dan Visa on Arrival (VoA) di masa pandemi Covid-19 merupakan satu hal wajar. Setiap negara sangat perlu berhati-hati terhadap pergerakan orang masuk-keluar wilayahnya. Namun, apabila kebijakan menghentikan fasilitas kemudahan perjalanan berupa bebas visa menjadi kebijakan permanen bahkan setelah pandemi berakhir, tentu hal ini tidak akan menguntungkan bagi Indonesia sebagai destinasi pariwisata.

“Peniadaan kebijakan bebas visa pada saat ini, di masa pandemi Covid-19, merupakan hal yang wajar. Sekarang memang sangat perlu disaring dan dimonitor. Paling tidak untuk memantau dan menyampaikan pesan mengenai protokol kesehatan. Namun, jika alasan resiprokal yang diangkat untuk meniadakan bebas visa, rasanya kurang elok. Kemudian, apakah sudah ada kajian yang membuktikan bebas visa yang diberikan kepada 169 negara tidak memberikan kontribusi devisa?,“ ujar Jongky Adiyasa dari Ina Leisure.

Selain menurunkan daya tawar destinasi Indonesia, Ricky Setiawanto dari Panorama Destination melihat lebih jauh lagi. Kebijakan tanpa bebas visa dalam jangka panjang bagi pariwisata Indonesia, artinya dipertahankan meskipun pandemi berakhir, akan mengakibatkan gap yang lebih besar antara bisnis perjalanan outbound dan inbound di masa mendatang. Apalagi, begitu banyak insentif ditawarkan untuk mendatangkan wisatawan Indonesia ke berbagai negara. Defisit ekspor-impor pariwisata tidak akan terelakan.

“Pebisnis industri inbound tour operator bisa jadi lebih melihat outbound ke depannya karena lebih menjual dibandingkan inbound,“ ungkapnya.

Kelebihan dan Kekurangan Kebijakan Bebas Visa

‘Do I need visa?’ adalah pertanyaan yang ada di dalam benak setiap wisatawan. Bebas visa merupakan fasilitas kemudahan perjalanan yang diidamkan, setelah kemudahan konektivitas, baik oleh wisatawan berkantong tebal maupun dengan bujet pas-pasan. Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, bahkan UNWTO mengkampanyekan fasilitasi kemudahan perjalanan. Pada kenyataannya, wisatawan global mungkin belum dapat menikmati berbagai fasilitas kemudahan seperti sebelum pandemi sampai dengan beberapa tahun ke depan.   

Catatan grafik. *) Perhitungan perolehan devisa 2018 masih bersiat sementara (BI) **) Dirangkum oleh Tourism for Us dari BRS Badan Pusat Statistik. ***) November 2017 Erupsi Gunung Agung, Bali; Juli 2018 gempa besar di Lombok, NTB.

Bagaimanapun, kebijakan Bebas Visa yang baru pertama kali dilakukan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo telah membantu promosi pariwisata Indonesia di pasar internasional. Kebijakan ini pun disambut positif dan optimis oleh pelaku industri pariwisata Indonesia. Memang, sejak tahun ketiga diberlakukan bebas visa mulai terjadi stagnasi. Tetapi, stagnasi tersebut tidak disebabkan faktor tunggal.

Dahlia Ginting dari Lisa Tour Jogja berpendapat, pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas bebas visa pasca pandemi. Hal ini guna membuat Indonesia tetap menarik untuk dikunjungi.

“Dengan bebas visa kita bisa mendapatkan dua pasar, wisatawan high class maupun wisatawan standar (wisatawan kebanyakan, bujet tidak berlebih, red.). Tapi tanpa free visa, wisatawan standar pasti akan berpikir ulang. Kita harus akui, biaya tiket pesawat ke Indonesia masih tergolong mahal. Bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara ,“ ujar Dahlia.

Menurut pengalaman Lisa Tour, salah satu operator tur inbound di Yogyakarta, mereka beberapa kali berhasil mengalihkan perjalanan wisatawan Bangladesh dari yang awalnya mau ke Vietnam jadi ke Indonesia. Fasilitas bebas visa menjadi daya tawarnya. Dengan itu mereka memperoleh wisatawan dari kelas atas maupun kelas standar.

Hampir senada dengan Lisa Tour, menurut Christine Kowandi dari Horas Tours Medan, agar dapat menarik wisatawan mancanegara berkunjung kembali pasca pandemi maka yang dibutuhkan adalah road map waktu pembukaan perbatasan negara yang jelas dan bebas visa.

 “Sudah ada wacana penyaringan turis. Turis yang datang harus yang sudah divaksin. Ini lagi sekarang mesti bayar visa? Dulu saja diberi free VoA jumlah turis kita kalah sama Malaysia dan Thailand, apalagi disuruh bayar?,“ kata Christine.

Ketika daftar 169 negara penerima fasilitas bebas visa dari Indonesia dirilis, di kalangan pelaku industri pariwisata inbound sudah melihat ada negara-negara yang kontribusinya tidak akan signifikan, baik dalam jumlah kunjungan maupun pembelajaannya. Pada umumnya, karena negara-negara tersebut bukan target pasar pariwisata Indonesia. Ada pula negara-negara yang menunjukkan tren kunjungan meningkat tetapi belum memperlihatkan dampak ekonomi signifikan. Dan tidak bisa dipungkiri, meskipun tidak semuanya, ada juga wisatawan yang memanfaatkan fasilitas tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya seperti untuk bekerja ketika sudah berada di destinasi.

Kebijakan Visa Berjenjang untuk Rebound Pariwisata Inbound

Pelaku industri operator tur inbound mengusulkan, langkah paling bijaksana yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mengkurasi kembali negara-negara penerima fasilitas kemudahan perjalanan. Bersama-sama dengan industri memilah negara-negara mana yang patut diberi fasilitas bebas visa, negara-negara yang layak mendapatkan fasilitas Visa on Arrival (VoA), dan negara-negara yang tidak mendapatkan fasilitas sama sekali dan harus mengajukan visa ke perwakilan Indonesia di luar negeri.

Agar pemberian fasilitas kemudahan perjalanan tepat sasaran, efektif menjaring wisatawan mancanegara dan sungguh memberi dampak ekonomi, alangkah sangat baiknya pemerintah menggandeng para pelaku industri operator tur inbound dalam proses mengkurasi dan memilah negara-negara penerima fasilitas perjalanan ke Indonesia. Karena pariwisata adalah bisnis yang digerakan oleh swasta. Mereka yang paling memahami pasar-pasar pariwisata Indonesia.

Data statistik jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan perolehan devisa yang dimiliki pemerintah bisa dikonfrontasi dengan data penjualan yang dimiliki oleh industri. Dari situ bisa dianalisis faktor-faktor yang membuat kebijakan bebas visa jadi mandek dan apa saja yang harus diperbaiki di masa mendatang.

Selain itu, pemerintah sebaiknya mendengarkan penjelasan mendalam (insight) dari para pelaku pariwisata inbound mengenai di antaranya, ketersediaan layanan penerbangan langsung, frekuensi penerbangan yang ada dan tipe-tipe armadanya, tata niaga industri pariwisata Indonesia yang tidak teratur hingga menciptakan citra yang kurang bagus dan menurunkan kepercayaan, di level apa kualitas pelayanan pariwisata di destinasi, berapa besar pembelanjaan riil turis asing selama berada di Indonesia, dan masih banyak lagi.

“Tentukan dahulu target pasar pariwisata Indonesia yang mana dalam memilih negara-negara yang pasti akan memberi dampak terhadap jumlah kunjungan maupun secara ekonomi. Itulah yang selayaknya perlu kita beri kemudahan visa,“ kata Sudhiyanto dari Antar Anda Tours Jogja mengingatkan lagi.

Ketut Ardana dari Bali Sunshine Tours menambahkan, “Tidak adil bagi negara-negara yang telah berkontribusi besar mengirimkan wisatawannya jikalau kita tetap memberikan bebas visa kepada negara-negara yang tidak pernah mengirimkan wisatawannya ke Indonesia.“

Herman Rukmanadi dari Bhara Tours Bandung setuju pemerintah meninjau ulang kebijakan bebas visa.

Visa free ditinjau ulang, tidak apa-apa,“ ujar Herman.

Menurutnya, setelah memilah penerima fasilitas perjalanan, Indonesia sebaiknya memberikan izin lama tinggal dengan melihat tipikal pola perjalanan wisatawan. Setiap pasar punya karakter berbeda-beda. Tetapi, dalam satu regional ada persamaan umumnya. Wisatawan dari kawasan Asia rata-rata punya waktu libur lebih singkat daripada wisatawan dari kawasan Eropa dan Amerika serta Australia.

Durasi liburan wisatawan Asia di luar Asia Tenggara rata-rata maksimal 5-7 hari. Wisatawan dari negara-negara ASEAN liburannya paling lama 3-4 hari. Fasilitas bebas visa bagi wisatawan Asia cukup diberikan selama dua minggu.

Sedangkan wisatawan dari Eropa seperti Belanda, Jerman, Perancis, Inggris serta Australia dan Amerika Serikat lama kunjungannya antara dua sampai tiga minggu. Jadi mereka bisa diberi fasilitas bebas visa sampai dengan 30 hari.

Herman menambahkan, “VoA bisa diberlakukan lagi. Langkah itu dapat menyeleksi wisatawan mancanegara yang datang. Bagi wisatawan yang serius ingin berlibur ke Indonesia, membayar VoA sebesar USD 35 per orang per kunjungan masa tidak mau. Jika kita akan memberlakukan VoA, loket pembayarannya harus ditambah di bandara. Minimal ada 10 loket dibuka sehingga tidak membuat antrian panjang. Tapi, tidak untuk kembali ke kebijakan yang mengharuskan mengajukan visa ke perwakilan Indonesia, kedutaan besar/konsulat jenderal, ya. Itu tidak akan menarik. Sangat menyita waktu. Jangan sampai juga terjadi, tiba-tiba Indonesia meniadakan free visa.“

Ricky menimpali, jika Indonesia sampai memilih kebijakan meniadakan bebas visa ada resiko yang akan ditanggung yakni penurunan kunjungan wisatawan mancanegara yang cukup besar ke depannya. 

“Sektor perhotelan, terutama yang ada di Bali, akan paling terpengaruh dengan kebijakan ini. Karena banyak wisatawan yang datang telah memesan akomodasi melalui OTA. Kita mesti ingat, Indonesia punya banyak pesaing, “ kata Ricky.

Adjie Wahjono dari Aneka Kartika Tours Surabaya berharap, wisatawan ASEAN tetap diberikan fasilitas bebas visa.

“Itu bagian dari kesepakatan ASEAN, toh. VoA jangan dihapus. Itu jauh lebih mudah daripada mengurus visa ke kedutaan,“ sambung Adjie.

Hasiyanna Ashadi dari Marintur Indonesia juga sependapat dengan yang lain, “Mempertimbangkan negara-negara mana yang diteruskan dan mana yang dihentikan dari menerima bebas visa mungkin lebih logis. Hal tersebut dilakukan berdasarkan data-data sebelum masa bebas visa dan sesudah diterapkan bebas visa. Selain itu juga perlu memperhatikan hal-hal lain yang mempengaruhi seperti frekuensi penerbangan dan lain-lain.“

Berkualitas vs Tidak Berkualitas

Memang agak sulit menilai wisatawan mancanegara yang datang berkualitas atau tidak. Menurut Ardana, paling tidak ada 2 hal yang bisa dinilai yaitu:

  1. Spending Quality. Jika bertolak dari Spending Quality tentu harus dilihat layanan/fasilitas yang digunakannya. Kemudian Length of stay. Jika ini yang digunakan sebagai ukuran maka wisatawan yang tinggal selama 4 malam di akomodasi seharga USD 100 per malam akan sama dengan wisatawan yang tinggal selama dua sampai tiga minggu di akomodasi USD 30 per malam. Dan masing-masing segmen masih ditambah dengan pengeluaran sehari-harinya.
  2. Atitude/behaviour Quality. Ini terkait dengan bagaimana wisatawan turut serta memelihara alam lingkungan, budaya , dan adat istiadat di destinasi.

Menurut Ricky, sebaiknya diperjelas dahulu batasan-batasan wisatawan mancanegara berkualitas yang dimaksud dan ditargetkan oleh pemerintah. Pelaku industri pariwisata dapat menafsirkannya berbeda-beda. Terlebih lagi, semua level perlu tamu sekarang dan semua pasar dibutuhkan. Mulai dari wisatawan kelas homestay, hotel bintang 3, 4, 5 hingga pasar luxury yang tinggal di vila-vila mewah.

Hasiyanna menuturkan,“Sekarang kita ibaratnya mulai dari nol lagi buat menarik minat wisatawan mancanegara. Kalau belum apa-apa sudah pilih-pilih nanti berapa yang akan datang? Wisatawan berkualitas tentu ingin pergi ke destinasi berkualitas juga. Terus, ada berapa banyak destinasi di Indonesia yang bisa memenuhi kriteria ‘berkualitas’ itu?“

Dari pengalamannya, Dahlia memahami, “Turis highclass pasti akan ke bintang 5. Jumlahnya juga tidak lebih banyak. Highclass tourists malah jarang belanja. Tentu hal ini perlu dicermati kenapa. Jika kita terlalu fokus pada highclass tourists, level di bawahnya seperti hotel-hotel bintang 3 dan souvenir shops UMKM berpotensi terabaikan.“

Sudhiyanto menegaskan lagi, “Kita ndak bisa dengan 13.000 pulau, mau semuanya menjadi target yang dipasarkan keluar negeri. Tentukan target destinasi yang akan dikembangkan. Artinya, tingkatkan kualitas destinasi, sumber daya manusianya, konektivitasnya, sarana dan prasarana yang ada di sana, dan seterusnya.“

Kebijakan pemerintah mengembangkan 10 Bali Baru, kemudian dikerucutkan jadi 5 destinasi super prioritas, sebenarnya sudah on the track. Hanya saja, dari sudut pandang industri, pemilihan destinasi-destinasi yang dikembangkan itu tidak semua akan bisa otomatis mendatangkan wisatawan. Apalagi dalam jangka pendek. Ada banyak faktor yang mempengaruhi di antaranya, karena jarak, aksesibilitas, infrastruktur yang ada di sana, ketersediaan SDM yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan, pemasaran destinasi, dan minat/permintaan dari wisatawan/konsumen. Nah, minat wisatawan, apalagi wisatawan mancanegara, tidak bisa didikte dan diarahkan.

 “Free visa tidak menentukan turis berkualitas atau tidak. Bukan karena free visa terus turis yang datang pasti semua tidak berkualitas. Kualitas pembeli ditentukan juga dari produk yang dijual. Jika kita menginginkan wisatawan berkualitas, tingkatkan kualitas destinasi dan produk yang dijual. Tidak kalah penting adalah efektifitas pemasaran pariwisata Indonesia,“ tambah Dahlia.

Herman menjelaskan,“Free visa tanpa promosi efektif tidak akan berjalan, tidak akan mendatangkan wisatawan. Untuk mendatangkan turis, tour operators di negara pasar harus menjual produk-produk perjalanan ke Indonesia. Selama produk-produk perjalanan ke Indonesia tidak ada di dalam katalog penjualan mereka, tidak akan ada turis yang datang. Agar produk-produk perjalanan itu masuk dalam katalognya, datangkan decision makers dari tour operators itu ke Indonesia. Sekarang kita mau mempromosikan Bali Baru, destinasi baru. Kalau tour operators yang akan menjual tidak didatangkan ke sini untuk melihat dan mengalami langsung, tidak akan dijual di negaranya.“

Satu hal lagi yang perlu dilakukan oleh Indonesia. Kementerian Pariwisata sebaiknya mempertimbangkan punya agenda untuk mengecek langsung dengan mendatangi outlet/kantor tour operators di negara-negara pasar. Ada berapa banyak sebenarnya tour operators/travel agents di luar negeri yang menjual destinasi Indonesia.

“Agar kita tahu, efektif atau tidak kebijakan dan program promosi yang dijalankan selama ini? Kenapa jadi penting, karena pariwisata inbound Indonesia membutuhkan agen-agen penjual yang dapat menjangkau langsung wisatawan. Mengingat, operator tur inbound tidak lebih dari 300 perusahaan di seluruh Indonesia. Sebanyak 90 persennya ada di Bali, sisanya tersebar di berbagai daerah di Papua, Maluku, Sulawesi, Surabaya, Jogja, Bandung, dan di Jakarta lumayan banyak, sekitar 20 perusahaan,“ pungkas Herman.

Pada masa di mana peraturan dapat berubah-ubah setiap waktu terkait karantina dan protokol kesehatan, wisatawan yang hendak bepergian mesti ekstra persiapan dan biaya. Maka fasilitas bebas visa dan/atau VoA paling tidak membantu mempermudah perjalanan wisatawan pada saat Indonesia mulai membuka pintu lagi untuk pariwisata internasional.***(Yun Damayanti)