AKTIVITAS NAIK GUNUNG DI PULAU DEWATA ADALAH SUATU ‘PENGALAMAN PENDAKIAN YANG BALI BANGET’

Tourism for Us – Mendaki Gunung Agung adalah pendakian suci menuju istana para Dewa. Itu  bukanlah suatu pendakian biasa. Jalan menuju puncak tertinggi di Pulau Bali, dalam konteks pariwisata, sudah semestinya memberikan pengalaman naik gunung yang sangat berbeda daripada mendaki gunung-gunung lainnya di Indonesia.

Erupsi Gunung Agung pada akhir November 2017 dilihat dari Selat Lombok. (Foto: Yun Damayanti)

Arti Gunung bagi masyarakat Bali

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dalam situsnya phdi.or.id menjelaskan, gunung yang membentang membelah Pulau Bali memberikan kehidupan bagi masyarakat, aktivitas budaya, keberadaan air hangat, air terjun, sungai, danau dan lain-lain. Pengetahuan masyarakat Bali tentang lingkungan alam semesta sesungguhnya sangatlah sistematis, holistik dan cenderung mengarah pada ekosentrisme.

Keharmonisan alam semesta yang juga disebut bhutahita atau jagathita akan juga memberikan jagathita (kesejahteraan) kepada manusaia. Dalam konteks hubungan manusia Bali (Hindu) dengan gunung, orang Bali mengajak umatnya untuk menghormati gunung sebagai penghormatan tertinggi kepada Dewa Siwa.

Gunung merupakan hulunya bumi, sangat dihormati. Bentuknya diwujudkan dengan mendirikan tempat suci di puncak-puncak gunung karena dimaknai akan memberikan kesejahteraan kepada umat manusia.

Mangku Kandia, seorang pemuka spiritual Hindu yang juga pelaku pariwisata lokal, menerangkan, masalah terjadi karena turis tidak paham kesucian gunung bagi masyarakat Bali.

‘’Kemarin ada wisatawan dari Rusia telanjang bulat di puncak Gunung Agung dan memvideokan kegiatan mereka. Itu sangat mendiskreditkan kami orang Bali yang meyakini gunung adalah istana dewa-dewa,’’ ujar Mangku Kandia.

Gunung itu harus disucikan. Karena gunung di Bali adalah gunung berapi. Kalau tidak diperlakukan secara hati-hati, gunung akan marah. Masyarakat Bali jadi korban.

Di lontar-lontar kuno yang dibuat ratusan tahun lalu dijelaskan bahwa gunung itu parwatha. Maka kalau orang Bali hendak mendaki ke Gunung Agung atau gunung lainnya pasti akan melakukan ritual terlebih dahulu di bawah. Meminta izin untuk mendaki. Dan minta izin sebelum mendaki tidak hanya berlaku bagi orang Bali saja tetapi juga bagi siapapun yang hendak naik ke gunung.

‘’Kami di Bali ini kan sepakat pariwisata. Maksudnya, pariwisata bisa membuka lapangan kerja, mengurangi rakyat miskin. Meningkatkan ekonomi. Jangan sampai pariwisata malah ‘membunuh’ kami. Tujuan hidup kita kan bukan itu. Kita ingin bahagia di pulau kita sendiri. Di negara kita sendiri,’’ lanjut Mangku Kandia.

‘’Kami ingin hidup damai. Jangan orang-orang asing yang datang, dia main-main dan mengganggu. Kami juga kan tidak ingin diganggu. Orang-orang yang berkunjung, tolong, janganlah merusak kami. Makanya gubernur Bali sekarang sangat keras akhir-akhir ini,’’ tambahnya.

Gubernur Bali sudah menandantangani peraturan/tata tertib bagi wisatawan yang berkunjung di Pulau Dewata. Peraturan itu tertuang dalam Surat Edaran No. 04 Tahun 2023 tentang Tatanan Baru Bagi Wisatawan Mancanegara Selama Berada di Bali yang ditandatangani oleh Gubernur Bali pada 31 Mei 2023. Walaupun peraturan itu ditulis untuk wisatawan mancanegara (wisman) tetapi wisatawan domestik juga wajib mengetahui dan melaksanakannya.

Kronologi wisman yang melakukan tindakan yang melukai masyarakat Bali

Di podcast Jeg Bali yang ditayangkan pada 3 Juni 2023, Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung menjelaskan kronologi seorang wisman yang melakukan tindakan tidak senonoh dan  melukai masyarakat Bali dan pemeluk agama Hindu. Pemerintah mengakui Hindu sebagai salah satu agama di Republik Indonesia.

Wisman tersebut mendaki tanpa melakukan registrasi di pintu Pura Agung Besakih. Mereka ditengarai mendaki antara pukul 5 atau 6 pagi. Petugas berjaga di titik masuk pendakian Gunung Agung mulai dari pukul 09.00 hingga 24.00. Jadi mereka memilih waktu sedemikian rupa di mana belum ada petugas yang berjaga di pintu masuk. Menurut Forum, mereka mendaki di jalur yang biasa dilalui wisatawan.

Mangku Kandia dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di industri pariwisata melihat, dahulu tidak ada turis-turis nakal seperti sekarang. Pada tahun 1980an, turis yang datang ke Bali tidak melakukan hal-hal aneh seperti yang sering diviralkan sekarang. Hal ini terjadi terutama sejak media sosial seperti Instagram dan Tiktok menguasai kehidupan sehari-hari. Banyak orang ingin menjadi terkenal sehingga membuat konten-konten yang aneh-aneh.

‘’Dengan pariwisata kami berharap sebaliknya, dapat melestarikan kebudayaan bali. Orang dulu malas menari.  Karena ada turis, mereka mau lagi menari. Dari menari, mereka bisa memperoleh pendapatan tambahan, menaikan kesejahteraan hidupnya. Dulu anak-anak tidak mau menari. Setelah tahu ada imbalan, mereka mau lagi belajar menari legong. Akhirnya tari-tarian bali dapat dilestarikan,’’ tuturnya.

Rahmat Abbas, Ketua Harian Federasi Montaineering Indonesia (FMI), mengatakan, sudah seyogianya pendaki atau wisatawan menghormati dan menghargai budaya lokal. Penertiban wisatawan ‘’nakal’’ berlaku untuk semua, asing dan domestik.

‘’Apalagi di Bali, antara budaya dengan alam sudah menyatu dan seringkali dihubungkan dengan wisata. Jadi isunya lebih cepat terangkat. Sebenarnya, di lokasi lain pun berlaku sama, hanya mungkin lebih jarang terekspos,’’ ujar Rahmat.

Dia berharap, semoga dengan ditertibkannya wisatawan ‘’nakal’’ bisa mengembalikan kepercayaan pemegang kebijakan untuk membuka gunung kembali dan dinikmati secara bertanggung jawab.

FMI mensosialisasikan ‘’responsible mountaineer’’ sejak 2018. Sosialisasi terutama terkait keselamatan, kebersihan dan menghormati budaya lokal dalam setiap aktivitas pendakian gunung. Kegiatan-kegiatan FMI juga menekankan pada etika berwisata di gunung.

Bagaimanapun, destinasi punya tanggung jawab untuk mensosialisasikan etika berwisata di daerahnya. Ibarat di sebuah pertandingan sepak bola, destinasi menempati posisi penjaga gawang. Wisatawan striker-nya. Jadi kalau ada pelanggaran di area gawang, yang melakukan pelanggaran otomatis harus diberikan kartu merah atau kartu kuning. Bahkan wasit yang memimpin pertandingan akan bertanya dahulu kepada para pembantunya dan melihat rekaman ulang pertandingan di AVAR sebelum menjatuhkan hukuman. Tetapi, hal tersebut tidak menghentikan pertandingan yang tengah berlangsung, bukan?  

Rekomendasi Prosedur Wisata Naik Gunung yang diajukan oleh Forum Komuniksi Pemandu Wisata Gunung Agung kepada Pemprov Bali. [Sumber; APGI]

Perkembangan industri pariwisata gunung di Bali

Dikutip dari percakapan di podcast Jeg Bali, ada dua gunung di Bali yang menjadi daya tarik sehingga banyak wisatawan ingin melihatnya, yakni Gunung Batur dan Gunung Agung. Keduanya adalah gunung vulkanik aktif.

Jumlah kunjungan di Gunung Batur diperkirakan mencapai 10 kali lipat daripada kunjungan di Gunung Agung. Menurut perwakilan pemandu gunung di Bali yang menjadi narasumber di podcast itu mengatakan, di Gunung Batur dalam sehari bisa mencapai sekitar 700 pendaki asing atau wisman saja. Total jumlah kunjungan bisa lebih besar daripada itu.

Gunung Batur menjadi wakil, terutama bagi wisman yang sedang berada di Bali, untuk melihat dan merasakan langsung gunung berapi di Indonesia. Jarak tempuh untuk mencapai titik tertingginya sekitar 1,5 jam. Medan trekkingnya relatif dapat dijalani oleh semua kalangan. Untuk mendakinya pun tidak membutuhkan persiapan khusus.

Berbeda dengan pendakian di Gunung Agung. Untuk mencapai puncak gunung tertinggi di Pulau Bali itu membutuhkan persiapan khusus. Pendaki harus punya kemampuan berjalan lebih dari 2 x 8 jam. Dari sisi ketinggian, rute perjalanan dan medan trekking, tingkat kesulitan di gunung ini lebih tinggi dari Gunung Batur.

Kegiatan pendakian di luar upacara agama di Gunung Agung dimulai sekitar tahun 1998. Sekarang telah ditentukan sembilan jalur pendakian. Dari sembilan titik masuk pendakian, bila digabungkan, jumlah pendaki domestik dan asing (wisman) di Gunung Agung rata-rata mencapai dua ribu orang per bulan.

Kegiatan wisata di Gunung Agung melibatkan sekitar 200 pemandu gunung. Jumlah tersebut belum termasuk porter. Semuanya warga lokal yang bermukim di sekitar gunung.

Kegiatan wisata gunung telah membantu perekonomian warga lokal yang bermukim di kaki gunung, termasuk di sekitar Gunung Agung. Mereka tidak hanya terlibat sebagai pemandu gunung tetapi juga ada porter yang membantu pendakian, menyediakan logistik pendakian dan lain-lain. 

Wayan Widiyasa, salah seorang pemandu di Gunung Agung di dalam podcast itu mengatakan, ‘’Dengan potensi yang ada di Gunung Agung, sebagai gunung tertinggi di Bali, brand-nya sudah ada. Jadi itu menimbulkan keinginan untuk mendakinya di kalangan wisatawan. Gunung Agung sudah menjadi daya tarik wisata.’’

Wayan menerangkan, kunjungan ke Gunung Agung sudah dilakukan sesuai dengan jalurnya. Jalur selatan, jalur yang paling banyak didaki, pada umumnya dapat ditempuh selama satu hari perjalanan. Wisatawan punya beberapa pilihan, misalnya melihat matahari terbit dari puncak dan lain-lain.

‘’Astungkara. Di kalangan pecinta pendakian, pendaki-pendaki muda milenial sudah mengerti kebersihan. Kita apresiasi. Mereka tidak lagi buang sampah sembarangan. Pendaki bule apalagi. Mereka luar biasa untuk melestarikan alam. Mereka tertib. Kalau mereka merokok atau makan permen karet ditaruh di kantung dan sebagainya,’’ ujar Wayan.

‘’Kami sudah melakukan sosialisasi kepada pemandu dan porter di Gunung Agung. Kalau anda bermalam di gunung, pastikan anda membawa kembali sampah dari gunung. Itu salah satu menjaga kesucian gunung dan menjaga kebersihan gunung. Dan kelestarian alam di gunung,’’ dijelaskan oleh I Ketut Mudiada, Ketua DPD Bali Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).

Wayan menambahkan, biaya masuk (entrance fee) khususnya di Gunung Agung berlaku sama di semua titik masuk. Besaran biaya masuk mulai dari Rp 25.000,00 per pendaki domestik. Biaya masuk dikelola oleh Bumdes. Sedangkan di tempat lain menyesuaikan dengan aturan desa setempat.

Pendakian di Gunung Agung memberlakukan aturan, satu orang pemandu gunung menangani 1 sampai 3 pendaki. Untuk jalur pendek yakni ke puncak selatan dengan waktu tempuh 8 hingga 10 jam perjalanan PP, biaya jasa pemandu antara Rp 550.000,00 sampai dengan Rp 700.000,00. Sedangkan untuk rute yang lebih panjang biaya jasa pemandu Rp 950.000,00.

‘’Kami berikan pilihan kepada wisatawan. Mereka yang menentukan. Kami juga bantu dengan menawarkan solusi bagi wisatawan yang tidak memiliki budget besar yakni dengan sharing cost. Kita di pariwisata kan tidak bisa saklek ya, mesti fleksibel,’’ tutur Wayan.

Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung menghimbau agar wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang bertujuan wisata minat khusus di Gunung Agung untuk melakukan registrasi dan mendaki di jalur-jalur yang telah ditentukan serta menggunakan pemandu gunung. Hal itu guna menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.

Terkait himbauan ini, Wayan menjelaskan lagi, ‘’Karena sudah banyak sekali terjadi, misalnya, wisatawan keseleo saat mendaki. Tapi tidak teregistrasi di tempat kami. Ketahuan setelah ada laporan ke posko. Pada kejadian tahun 2006, dari tiga orang yang dilaporkan hilang, sampai sekarang dua orang belum ditemukan. Resiko beraktivitas di gunung memang seperti itu. Sementara ini, warga negara asing atau wisman harus memakai pemandu.’’

‘’Kami sepakat di Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung dan kami sebagai warga Bali yang bermukim di kaki Gunung Agung, sangat menghormati gunung kami. Karena kami yakin, yang beristana di Gunung Agung adalah leluhur kami. Kami meyakini, tuhan yang bersemayam di sana adalah yang memberikan kesejahteraan bagi kami yang tinggal di kaki gunung juga semua orang yang ada di Pulau Bali,’’ tutur Mudiada.  

Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung sebagai bagian dari pelaku pariwisata lokal sudah melakukan berbagai upaya untuk menyeimbangkan antara kegiatan ekonomi pariwisata dan menjaga kesucian gunung.

Di setiap upacara yang berlangsung di Pura Agung Besakih, mereka menutup semua jalur menuju puncak Gunung Agung. Setiap ada upacara pekelem, para pemandu gunung yang mempunyai keahlian menjadi relawan yang membantu membawakan sesaji persembahan yang akan dilarung ke kawah. Begitu pun bila ada desa-desa adat yang membutuhkan, mereka akan membantu mengkondisikan pengayah lain untuk upacara pekelem.

Kepada setiap anggota di Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung selalu diingatkan untuk membawa sesaji sederhana seperti canang pada saat mendaki bersama wisatawan, dan meminta izin sebelum melakukan aktivitas mencari nafkah selaku pemandu wisata di Gunung Agung.

‘’Itu yang sudah kami lakukan. Kalau itu masih dinilai kurang, kami mohon untuk diberikan wejangan-wejangan tambahan dari pemuka-pemuka agama,’’ pinta Mudiada.  

Senada dengan Mudiada, Wayan pun memohon, ‘’Apa yang disebut suci. Menyucikan gunung seperti apa. Tolong ajari kami. Kami berharap, diberi kesempatan untuk bisa menikmati kue pariwisata dengan tetap menjaga tatanan budaya bali, tradisi bali dan mensucikan Gunung Agung. Tolong bimbing kami.’’

Dua asosiasi yang berkecimpung di pariwisata gunung, APGI dan FMI, telah aktif untuk membangun wisata gunung di Indonesia yang aman, beretika dan menghargai budaya lokal. [Foto; FMI]

Penguatan aturan wisata gunung

‘’Kami kan tidak mungkin berada di tempat selama 24 jam. Mohon dibantu untuk mengetatkan aturan. Sampai sekarang, karena belum ada peraturan yang mengikat, kami juga menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan pendaki dan wisatawan, baik domestik maupun asing, yang naik tanpa mengindahkan aturan yang ada,’’ kata Wayan. 

Tingkah laku orang tidak bisa diprediksi. Apakah positif atau ada akal-akalan yang tidak diketahui oleh penjaga. Tidak semua pendaki seperti itu. Hal serupa bisa terjadi di Gunung Agung dan di gunung-gunung lainnya di Indonesia.

‘’Selama tamu didampingi pemandu terlatih, walaupun belum tersertifikasi BNSP, seperti pemandu-pemandu gunung yang ada di Bali, mereka sudah memegang SOP. Pemandu gunung di Bali sudah mengikuti ujian kepemanduan umum. Mereka pasti tidak mengizinkan pendaki untuk melakukan hal-hal aneh, seperti foto telanjang yang dilakukan oleh wisman tersebut,’’ tegas Mudiada.

Disyon Toba, pendiri perlengkapan outdoor Consina juga konsultan aktivitas outdoor & glamping, berpendapat, beberapa hal harus dipertimbangkan dalam mengembangkan wisata gunung: para pendaki diberikan arahan sebelum memulai pendakian; pemandu gunung mengawasi aktivitas pendaki selama berada di gunung; rambu-rambu Dos & Donts ditaruh di beberapa tempat agar pengunjung selalu ingat.

Seperti halnya di jalan raya, dibuat peraturan dan rambu-rambu lalu lintas agar tidak terjadi atau menekan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Begitu pun dengan pariwisata gunung. Peraturan dan rambu-rambu di gunung itu dibutuhkan. Dan memang kesadaran untuk menaati peraturan dan rambu-rambu kembali ke masing-masing individu

‘’Namun jika tidak ada peraturan dan rambu-rambu, lalu ada pendaki atau wisatawan berulah, kemudian dikeluarkan aturan yang pukul rata, itu malah menyulitkan orang-orang yang datang ke gunung dan mempunyai tujuan baik yakni untuk naik gunung, melatih fisik, mencari kesegaran, melihat pemandangan dan lain-lain,’’ kata Disyon.

Pengalihan SDM wisata gunung atau mencipta ulang pengalaman pendakian?

Dengan aktivitas wisata minat khusus pendakian yang sudah berlangsung selama 25 tahun di Gunung Agung, dan mungkin lebih lama lagi di gunung-gunung lainnya, sumber daya manusia (SDM) pariwisata gunung di Bali sudah terbentuk. Menciptakan dan meregenerasi SDM pariwisata apalagi di sub sektor minat khusus tidak mudah dan tidak bisa instan.

Dengan wacana yang telah menjadi rencana untuk mentransformasi SDM wisata gunung di Bali menjadi tenaga kontrak di pemerintahan daerah, apakah Bali siap dengan resiko kehilangan SDM berpengalaman yang sudah terlatih dan terampil? Apakah Bali mau menerima kenyataan bila suatu hari posisi yang ditinggalkan oleh SDM lokal diisi oleh orang lain, termasuk oleh warga negara asing? Selain itu, apakah SDM wisata gunung yang sudah jadi itu bisa langsung beradaptasi dengan bidang pekerjaan dan status kontrak yang ditawarkan?

Ingat! Manusia punya sifat, semakin dilarang malah akan semakin penasaran dan rela melakukan apapun termasuk melanggar yang ditabukan. Jangan lupa juga, apapun jenis aktivitas wisata bisa dilakukan di Bali. Jika tidak ada SDM lokal yang mengisinya, orang lain yang akan mengambil kesempatan.

Ketua DPD Bali APGI menegaskan, untuk saat ini proses pengalihan masih berjalan. SDM pariwisata gunung di Bali menunggu peraturan daerah nantinya akan seperti apa. Diakuinya, para pemandu wisata gunung di Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung sudah diminta untuk menyiapkan data dan KTP.

Menanggapi isu transformasi pemandu gunung di Bali menjadi tenaga kerja kontrak di pemda, Ketua Umum APGI Rahman Muhlis berpendapat, itu mungkin jalan tengah sementara bagi para pelaku usaha di sana agar bisa tetap mendapatkan penghasilan dengan diangkat sebagai pegawai kontrak.

Dia berharap, core-nya akan tetap sebagai praktisi pariwisata sesuai pekerjaannya masing-masing, baik operator, pemandu, porter serta jasa pendukung lainnya seperti penyedia transportasi, penginapan, konsumsi dan lain-lain.

‘’Pada prinsipnya kami mendukung ‘’penataan wisata pendakian gunung di Bali’’ khususnya yang berbasis alam dan kebudayaan. Sehingga kegiatan naik gunung bisa berjalan beriringan antara wisata, pelestarian alam dan pelestarian budaya,’’ pungkas Rahman.

Tidakkah lebih baik bila seluruh elemen pemangku kepentingan pariwisata, pemuka agama/spiritual dan masyarakat di Pulau Dewata duduk bersama dan menciptakan ulang ‘Pengalaman Pendakian yang Bali Banget’, yang mungkin bisa menjadi solusi bagi semua pihak?

Di mana di Indonesia, atau di belahan bumi mana, pengunjung yang hendak mendaki dapat berpartisipasi atau melihat ritual meminta izin sebelum melakukan aktivitas; di sepanjang jalan disuguhkan narasi bahwa setiap tanaman, hewan, tanah dan air di punggung gunung adalah bagian dari tubuh dewa; melihat altar-altar persembahan kecil di jalur trekking; bagaimana pendaki harus ikhlas melepaskan egonya sebagai manusia selama perjalanan menuju puncak; dan menyaksikan matahari memantulkan sinar pertamanya pada sesaji-sesaji yang diletakan di tepi bibir kawah setelah berjalan selama 8 jam?  

Karena mendaki di Bali adalah suatu perjalanan menuju kediaman Sang Pencipta. Pendakian bukan sekedar aktivitas fisik dan mengejar sunrise moment semata tetapi juga suatu pengalaman budaya dan spiritual. Bahkan pendaki, baik domestik dan asing, bisa merasakan makna saling menghormati di antara sesama manusia.

Sang Pencipta tidak pernah melarang siapapun bertemu denganNya. Namun, untuk bertemu denganNya, bukankah kita harus menaati berbagai aturan dan wajib melaksanakan adab? Dan di mata Dewata, semua orang sama, tidak membedakan dia orang Bali, dia orang dari daerah lain ataupun dia warga negara asing.***(Yun Damayanti) 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *