AMANDEMEN UU NO. 10/2009 TENTANG KEPARIWISATAAN BERUJUNG PADA KEKECEWAAN INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP DPR DAN KEMENPAR
Tourism for Us – Penetapan Undang-undang tentang Kepariwisataan yang menggantikan Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menjadikan sektor pariwisata sebagai program prioritas dalam pembangunan ekonomi indonesia, meskipun sektor ini telah membuktikan kontribusinya yang signifikan dan nyata.
Pelaku industri pariwisata memiliki harapan tinggi terhadap Undang-undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada 2 Oktober 2025. Diharapkan, undang-undang baru ini dapat mengatur sektor pariwisata Indonesia dengan lebih baik. Namun, kenyataannya, undang-undang tersebut justru menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan di kalangan pelaku industri. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyebutnya sebagai sejarah kelam bagi industri pariwisata Indonesia.
Mengapa GIPI memberikan penilaian seperti itu? Hal ini disebabkan oleh penghilangan beberapa poin penting yang diusulkan oleh pelaku industri melalui GIPI. Selain itu, terdapat juga poin-poin penting lainnya yang tetap tidak mengalami perubahan. Poin-poin tersebut dianggap sebagai kebutuhan untuk mengatur industri pariwisata Indonesia yang terus berkembang pesat. Beberapa poin penting tersebut antara lain:
Pertama, tidak pernah ada pembahasan mengenai penghapusan Bab XI tentang GIPI dalam berbagai draf Rancangan Undang-undang (RUU) Kepariwisataan. Sebelumnya, GIPI telah tercantum dalam Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan.
Dalam keterangan tertulis, GIPI menjelaskan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat antara DPR dan pelaku industri pariwisata pada periode persidangan tahun 2025, GIPI mengusulkan untuk mengubah nama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia menjadi Gabungan Asosiasi Pariwisata Indonesia. GIPI didirikan pada tahun 2012 sebagai induk dari berbagai organisasi pariwisata yang ada di Indonesia sesuai dengan amanat undang-undang.
Di dalam Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan, Bab XI pasal 50 menyebutkan bahwa anggota GIPI terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, serta asosiasi lain yang terkait langsung pariwisata; mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat di sektor pariwisata, meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dengan pengusaha pariwisata luar negeri demi kepentingan pembangunan kepariwisataan, serta menyalurkan aspirasi, menjaga kerukunan, dan kepentingan anggota dalam rangka partisipasi mereka dalam pembangunan sektor kepariwisataan.
Fungsi GIPI adalah sebagai mitra kerja pemerintah dan pemerintah daerah (pemda), serta berfungsi sebagai wadah komunikasi dan konsultasi untuk para anggotanya. Selain itu, GIPI juga mengadakan pusat informasi usaha dan turut berperan dalam menyebarluaskan kebijakan pemerintah di sektor kepariwisataan.
Undang-undang tentang Kepariwisataan yang baru saja disahkan tetap mempertahankan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI). Namun, melihat dari pelaksanaannya di masa lalu, para pelaku industri pariwisata meragukan bahwa badan promosi ini akan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang.
Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan dalam Bab X pasal 36-49 mengatur mengenai BPPI dan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) sebagai berikut:
Unsur yang menentukan kebijakan dalam BPPI dan BPPD terdiri dari perwakilan asosiasi kepariwisataaan, asosiasi profesi, asosiasi penerbangan, dan para pakar/akademisi.
Pemerintah dan pemda berperan dalam memfasilitasi pembentukan BPPI dan BPPD. Penentu kebijakan BPPI diusulkan oleh menteri dan diajukan kepada presiden untuk masa jabatan selama empat tahun. Pembentukan BPPI dan BPPD masing-masing ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan keputusan kepala daerah.
BPPI dan BPPD adalah lembaga swasta yang bersifat mandiri. Badan ini juga diperbolehkan untuk menggalang sumber dana selain dari APBN dan APBD. Undang-undang mengamanatkan kepada pemerintah dan pemda untuk memberikan dana hibah yang bersumber dari APBN dan APBD sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
Tugasnya adalah untuk meningkatkan citra pariwisata, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan perjalanan wisatawan nusantara (wisnus), koordinator promosi oleh industri, serta menjadi mitra kerja pemerintah dan daerah.
Faktanya, pemerintah tidak bisa melaksanakan amanat ini sepenuhnya. BPPI pusat tidak pernah dibentuk kembali sejak 2015 atau sejak kepengurusan periode pertama berakhir. Menteri Pariwisata yang menjabat saat itu bahkan tidak menyetujui pembentukan kembali BPPI. Hal ini menciptakan preseden bahwa pembentukan BPPI tergantung pada keinginan pemerintah. Begitu pula yang terjadi di daerah. Hanya satu atau dua daerah yang masih mengaktifkan BPPD-nya.
Sementara itu, GIPI terus berkembang dengan kepengurusan yang terbentuk di hampir seluruh daerah di Indonesia, dan secara tidak langsung mengambil alih tugas dan fungsi badan promosi. Selain melaksanakan amanat undang-undang, GIPI telah berkontribusi dalam pembangunan serta pengembangan kepariwisataan Indonesia melalui berbagai kegiatan dan program yang dilaksanakan bersama pemerintah.

Menurut GIPI, pemerintah melalui Kemenpar menyatakan bahwa mereka tidak setuju dengan pembentukan badan yang terlalu banyak. Oleh karena itu, industri pariwisata mengusulkan agar fungsi dan tugas badan promosi pariwisata yang tercantum dalam Bab X tentang BPPI dalam Undang-undang No. 10/2009 dilebur ke dalam GIPI.
Selama lima tahun terakhir, asosiasi-asosiasi pariwisata yang berada di bawah GIPI tetap aktif melaksanakan berbagai kegiatan promosi pariwisata, baik di dalam maupun luar negeri. Banyak dari kegiatan promosi tersebut dilakukan secara mandiri oleh pelaku industri.
Salah satu alasan mengapa BPPI dan BPPD mengalami stagnasi adalah karena anggaran dana hibah untuk badan promosi di pusat dan daerah, yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang, tidak dijalankan. Dana hibah tersebut tampaknya menimbulkan konflik kepentingan dalam anggaran di Kementerian Pariwisata (Kemenpar) serta di dinas-dinas pariwisata daerah.
Maka terkait dengan anggaran, GIPI mengusulkan konsep serupa badan layanan umum (BLU) untuk sektor pariwisata, mirip yang diterapkan di sektor sawit dan telekomunikasi. Sumber dananya akan berasal dari pungutan yang dikenakan kepada wisman.
Regulasi pariwisata yang baru menetapkan bahwa pemerintah akan mengambil alih pungutan wisata dari wisman yang diusulkan oleh GIPI. Para pelaku industri yang telah berpengalaman dengan kebijakan pemerintah sebelumnya merasa khawatir bahwa dana dari pungutan tersebut akan sulit atau minim untuk dialokasikan kembali, sehingga dapat menghambat upaya pengembangan pasar dan produk wisata yang diperlukan oleh industri pariwisata.
BLU pariwisata diyakini dapat mengatasi masalah pendanaan pariwisata, dan dapat diseleraskan dengan program industri pariwisata dalam mengembangkan pariwisata Indonesia, terutama saat ini, ketika pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran di seluruh Kementerian/Lembaga.
Usulan untuk menerapkan pungutan terhadap wisman dan BLU pariwisata diajukan karena kontribusi dari pajak hotel, restoran, dan hiburan, serta dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang khusus untuk sektor pariwisata dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti visa dan tiket masuk taman nasional serta taman wisata alam, sangat rendah. Hal ini menyebabkan anggaran untuk pengembangan pariwisata di daerah menjadi terbatas, sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mendukung program industri pariwisata dalam memperluas pasar dan mengembangkan produk wisata.
Ketua Bidang Organisasi DPP GIPI dr. Yuno Abeta Lahay menyatakan bahwa gagasan BLU Pariwisata sebagai mekanisme keuangan akan membantu dalam mendukung kegiatan promosi dan pengembangan pariwisata.
‘’Selama ini wisman membayar visa, tapi penerimaannya hanya menjadi PNBP di Kementerian Imigrasi. Tidak ada yang kembali untuk penguatan sektor pariwisata. Maka dari itu, kami usulkan pembentukan BLU dengan sumber dari pajak wisman,’’ jelasnya.
Ia mencontohkan keberadaan berbagai BLU, seperti BLU sawit dan komunikasi dan informmasi, yang berhasil menopang sektor masing-masing. Namun, hingga kini pariwisata belum memiliki lembaga serupa.
‘’Skemanya kami serahkan ke pemerintah, tapi intinya agar penguatan dari sisi finansial itu lebih kuat,’’ terang Yuno.
Komisi VII DPR, dalam berbagai pembahasan RUU Kepariwisataan dengan pelaku industri pariwisata, mengusulkan agar Indonesia memiliki tourism board. Di antara negara-negara ASEAN, hanya Indonesia yang mengembangkan sektor pariwisata tanpa adanya tourism board. GIPI sepakat dan mendukung usulan DPR ini dan juga mengusulkan penyempurnaan atas tugas dan fungsi GIPI.
Namun, selain penghapusan Bab XI tentang GIPI, usulan untuk membentuk tourism board juga tidak tercantum dalam Undang-undang tentang Kepariwisataan yang disahkan pada 2 Oktober 2025 lalu.
Budijanto Ardiansjah, Sekjen ASITA, menjelaskan bahwa kedudukan GIPI dan Indonesia Tourism Board berbeda.
‘’Pemerintah mungkin menganggap tidak perlu ada gabungan asosiasi. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengawal supaya bisa segera terbentuk Indonesia Tourism Board, yang dananya diambil dari tourism tax yang akan diberlakukan segera,’’ ujar Budi.
Pemerintah dan DPR tidak memperhatikan usulan penting lainnya dari industri terkait pengaturan klasifikasi manajemen usaha pariwisata. Undang-undang No. 10/2009 dalam Bab VI tentang Usaha Pariwisata pasal 14-17 belum mampu mengakomodasi jenis usaha operator seperti operator hotel, restoran, dan lain-lain. Oleh karena itu, karena itu tidak diatur, usaha operator dimasukkan ke dalam kategori Jasa Konsultan Pariwisata. Pengklasifikasian ini tidak tepat karena tugas dan fungsi utama antara operator dan konsultan sudah jelas berbeda. Jasa konsultan hanya memberikan saran dan rekomendasi, tetapi tidak terlibat dalam operasional usaha, dan hal ini juga telah diterangkan dalam lampiran Penjelasan Atas Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan.
Dengan demikian, pelaku industri pariwisata selalu menyampaikan usulan ini kepada pemerintah melalui Kemenpar, maupun dalam rapat dengar pendapat untuk penyusunan Amandemen Undang-undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan di DPR. Usulan dari industri untuk penambahan jenis usaha dalam manajemen usaha pariwisata sebenarnya sudah disepakati untuk ditambahkan dalam perubahan kualifikasi baku lapangan usaha (KBLI) tahun 2025. Namun, kenyataannya, pasal ini tidak diubah dalam Undang-undang Kepariwisataan yang baru.
Pemerintah dan DPR seharusnya menjadikan penyelesaian berbagai tantangan dalam pengembangan pariwisata serta regulasi yang diperlukan oleh industri pariwisata sebagai prioritas utama. Tidak seharusnya pemerintah hanya mengandalkan pendapatan dari devisa, pajak, dan PNBP yang berasal dari sektor pariwisata tanpa memberikan dukungan yang memadai untuk pengembangan pasar industri tersebut. Di banyak negara, peran pemerintah dalam pengembangan destinasi pariwisata dan pasar sangat signifikan.
Tuntutan industri pariwisata bukan tanpa dasar. Aktivitas pariwisata berdampak langsung terhadap masyarakat dan perekonomian di daerah karena banyak melibatkan pelaku UMKM dalam ekosistem yang bergerak sebagai rantai pasoknya.
Industri pariwisata memerlukan dasar hukum yang kokoh agar ekosistem dan rantai pasoknya dapat berfungsi dengan baik. Amandemen UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan diharapkan dapat memberikan kerangka regulasi yang jelas, tanpa ambiguitas atau tumpang tindih, serta menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan di bawahnya yang berlaku di tingkat pusat hingga daerah. Namun, hasil dari amandemen itu tidak menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh pelaku industri pariwisata. Keterlibatan industri dalam sesi dengar pendapat dengan DPR dan pemerintah tanpa benar-benar memperhatikan substansi usulan yang diajukan semakin memperkuat anggapan bahwa partisipasi tersebut hanya bersifat formalitas. ***(Yun Damayanti)
