NAPAK TILAS MELETUSNYA PERTEMPURAN 10 NOVEMBER DI HOTEL MAJAPAHIT SURABAYA
Tourism for Us – Jawa Timur adalah salah satu daerah yang memiliki cukup banyak akomodasi heritage. Nilai heritage tidak hanya pada bangunan fisik saja tetapi juga saksi berbagai peristiwa. Sekitar setengahnya dirawat cukup baik. Tamu-tamu berkesempatan merasakan pengalaman masa lampau.

Hotel Majapahit Surabaya
Sebuah grand piano hitam berdiri elegan di sudut loby Hotel Majapahit Surabaya. Dia bertahan di sana, melewati empat masa, dan menyaksikan berbagai peristiwa.
Pada suatu hari tahun 1936, suara dentingan piano mengiringi tamu-tamu undangan berdansa di hall Oranje Hotel. Mereka, orang-orang Eropa yang tinggal di Surabaya, hadir dalam acara pembukaan hotel. Acara pembukaan terasa lebih istimewa karena dihadiri oleh Pangeran Leopold III dari Belgia dan Putri Astrid dari Swedia. Charlie Chaplin duduk di belakang grand piano itu memainkan lagu-lagu romantis. Selama berada di Surabaya, sang legenda menginap di Oranje Hotel di kamar nomor 47.
19 September 1945. Roeslan Abdul Gani dan beberapa rekannya mengadakan pertemuan di dalam kamar nomor 33. Mereka sedang membahas untuk meminta penjelasan dari Belanda mengenai pengibaran bendera merah-putih-biru di atas Hotel Yamato (nama Oranje Hotel diubah pada masa pendudukan Jepang). Pertemuan rahasia itu bocor. Pihak Belanda mengetahuinya. Tentara mengepung hotel. Antara Abdul Gani dan rekan-rekan dengan perwakilan tentara Belanda tidak mencapai kata sepakat.
Gerakan pengibaran bendera merah putih di seluruh penjuru kota Surabaya dilakukan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Di tengah gencarnya gerakan tersebut, arek-arek Surabaya melihat bendera tiga warna berkibar di atas Hotel Yamato. Begitu mengetahui Belanda tidak akan menurunkannya, mereka langsung merangsek ke dalam hotel. Beberapa orang pejuang berhasil naik ke atap. Kemudian menurunkan bendera tersebut dan merobek bagian warna birunya. Mereka mengibarkannya lagi. Kali ini bendera tersebut hanya berwarna merah dan putih. Peristiwa yang terjadi pada hari itu membuat situasi di kota Surabaya semakin panas. Hingga akhirnya pertempuran meletus pada 10 November 1945. Dan peristiwa tersebut terekam dalam foto-foto hitam putih yang tergantung pada dinding di satu selasar menuju lobi Hotel Majapahit sekarang.
Ruang lobi bergaya art deco di Hotel Majapahit sekarang merupakan bangunan tambahan. Dari situ kami memulai tur hotel heritage yang menyimpan sebagian sejarah bangsa ini.

Dari area lobi menuju Cafe 1910. Gedung Oranje Hotel dibangun tahun 1910. Sebuah plakat yang menyatakan tahun pembangunan gedung digantungkan di salah satu sisi dinding kafe. Posisi kafe yang sekarang berada di dalam Hotel Majapahit dahulu merupakan beranda Oranje Hotel. Manajemen hotel mengembalikan lagi furnitur-furnitur lama di situ. Poffertjes dan es degan (kelapa muda) memperkuat nuansa untuk menghadirkan kembali suasana hotel di masa lampau.
Kemudian, kami menyusuri lorong yang menghadap ke herb garden menuju sebuah kamar di pojok, kamar nomor 33. Itulah Merdeka Room. Salah satu suite room terkenal karena tamu-tamu yang pernah menginap di situ dan peristiwa-peristiwa yang meliputinya.
Lalu kami menyusuri lorong sekali lagi. Kali ini menuju north garden. Sebuah bangunan dua lantai seluas 806 meter persegi berdiri sendiri di seberang taman. Itu adalah presidential suite terluas di Asia Tenggara. Dan kami pun kembali ke area lobi hotel untuk melihat ulang foto-foto dari peristiwa 19 September 1945.
Tur di Hotel Majapahit berlangsung antara 15 sampai 30 menit. Durasinya bergantung pada jumlah peserta. Seorang Guest Relation Officer memandu kami menapaktilasi penyebab pertempuran 10 November 1945. Tur ini bisa dilakukan dengan pemesanan di muka. Biayanya termasuk mencicipi penganan ringan tradisional Belanda dan Indonesia.
Sekarang Hotel Majapahit berada di bawah manajemen Accor Hotels dan merupakan bagian dari koleksi MGallery. Nilai-nilai heritage bangunan dan sejarahnya tetap dipertahankan. Ke depannya bukan tidak mungkin akan lebih dikembangkan lagi sehingga nilai-nilai tersebut selalu relevan, tak lekang dimakan zaman.*** (Yun Damayanti)
