WISATAWAN TIONGKOK KEMBALI KE BALI, PELAKU INDUSTRI BERHARAP BISNIS PARIWISATA YANG LEBIH BAIK

Tourism for Us – Wisatawan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akhirnya kembali ke Bali. Pasar wisatawan internasional terbesar yang diharapkan oleh semua destinasi di Asia Tenggara ini datang ke Pulau Dewata dengan penerbangan charter (sewa). Dan waktunya bertepatan dengan musim liburan tahun baru Imlek.  

Wisatawan Tiongkok yang datang dengan penerbangan charter disambut oleh Kepala Daerah Provinsi Bali, Deputi Pemasaran Kemenparekraf RI, Kepala Imigrasi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan jajaran pejabat lainnya.(Foto: Birkompublik Kemenparekraf)

Batch pertama dari tiga grup charter dari Tiongkok yang dijadwalkan telah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali, Minggu (22/1/2023). Maskapai Lion Air yang disewa membawa 210 wisatawan Tiongkok. Mereka terbang dari Bandara Internasional Bao’an Shenzhen, Guangdong, Cina.

Menurut keterangan DPD ASITA Bali, batch kedua dan ketiga masing-masing tiba di Bali pada 29 Januari 2023 dan 5 Februari 2023. Jumlah wisatawan yang dibawa di setiap batch lebih kurang sama dengan batch pertama.

Sebanyak enam agen perjalanan Bali anggota ASITA mengkoordinasikan tur grup charter wisatawan Tiongkok ini. Mereka adalah para pemain yang sudah berkecimpung menangani wisatawan dari Negeri Tirai Bambu sejak lama. 

Selain wisata pantai dan laut yang menjadi impian setiap wisatawan Tiongkok mau datang ke Bali, mereka yang ikut dalam grup charter juga mengunjungi tempat-tempat yang hot di media sosial seperti Pura Penataran Agung Lempuyang atau dikenal sebagai Pura Lempuyang The Gate of Heaven, pantai-pantai ikonik di Nusa Penida, dan Tanah Lot. Program mengunjungi daya tarik wisata alam lebih banyak.

Ketiga grup charter pertama wisatawan Tiongkok itu menyasar kelas menengah atas (middle-up market). Mereka menginap di hotel bintang 5 dan mengikuti tur layaknya wisatawan-wisatawan dari negara-negara lain. Tentu saja program belanja (shopping) tetap ada dalam tur. Karena tidak mungkin tidak ada program belanja bagi wisatawan Asia pada umumnya.

Komite Pasar Tiongkok Bali Tourism Board menerangkan, untuk saat ini, sebuah pabrik kopi di daerah Jimbaran menjadi tujuan wisata belanja. Hal ini dikarenakan toko-toko lain belum buka.

Paket wisata ke Bali dengan charter tersebut dibuat untuk membuat wisatawan Tiongkok merasakan liburan yang sebenarnya. Mereka lebih banyak melihat keindahan alam dan budaya selama berada di salah satu destinasi terpopuler di dunia. Sebuah pengalaman yang pantas untuk harga yang dibayarkan.

Target pasar wisatawan Tiongkok

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) menargetkan 255.300 wisatawan asal Tiongkok datang berwisata ke Indonesia tahun ini.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) pada ‘’Weekly Press Briefing Bersama Sandiaga Uno’’ (WBSU) di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Selasa (24/1/2023), menjelaskan, target 250 ribu ini merupakan target batas bawah.

‘’Kita harapkan di penghujung tahun 2023 angka tersebut bisa meningkat,’’ ujar Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno.

Kemenparekraf optimis kedatangan kembali wisatawan Tiongkok dapat mendukung target 3,5 juta – 7,4 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada tahun 2023. Menparekraf menekankan, akan senantiasa mempromosikan destinasi favorit seperti Bali, Manado dan lima destinasi super prioritas untuk menggaet pasar Tiongkok.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 sebelum masa pandemi COVID-19, Tiongkok menjadi penyumbang terbesar kedua kunjungan wisman ke Indonesia.

Tercatat, turis asal Tiongkok mengunjungi Indonesia sebanyak 2.072.079 wisatawan selama tahun 2019 atau 12,8 persen dari total 16.106.954 wisman. Kunjungan wisatawan Tiongkok pada tahun 2019 sedikit menurun dibandingkan capaian tahun 2018 sebanyak 2.139.161 wisatawan.

Reaktivasi penerbangan Tiongkok-Bali

Seluruh pemangku kepentingan pariwisata di Bali menunggu hasil dari charter flight Tiongkok pada akhir Januari-awal Februari 2023. Penerbangan charter ini merupakan hot new. Semua berfokus ke sana.

Namun, dari penerbangan charter itu belum bisa ditarik kesimpulan perbandingan pasar wisatawan Tiongkok sekarang dengan sebelum pandemi. Dari tiga batch pertama charter ke Bali tersebut mungkin membutuhkan waktu tiga sampai enam bulan untuk melihat kestabilan permintaan dari wisatawan.

Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace pada kesempatan yang sama di WBSU minggu lalu menjelaskan, ‘’Kami berharap jumlah penerbangan sebelum COVID-19 dari 20 kota di Tiongkok bisa dikembalikan lagi, termasuk jumlah maskapai yang melayaninya yang mencapai 15 maskapai penerbangan. Dan penerbangan langsung dari Tiongkok ke Bali bisa dikembalikan lagi,’’ kata Cok Ace.

‘’Ini kan baru. Semua ada proses. Kita akan lihat feedback-nya. Pelayanan di sini bagaimana. Kalau semua baik-baik saja, pasti mereka akan lebih ini. Menteri juga sudah mengatakan, sedang mendorong Lion Air untuk bisa merambah ke beberapa kota lagi di Tiongkok,’’ tutur Putu Winastra, Ketua DPD ASITA Bali.  

Salah seorang operator tur inbound Bali yang fokus pada pasar Tiongkok Probali Tours optimis, maskapai-maskapai penerbangan juga melakukan kajian-kajian sebelum mereaktivasi penerbangan regulernya ke Bali.

‘’Saya yakin, perusahaan-perusahaan penerbangan yang melayani reguler flights akan melakukan kajian kebutuhan dan penyesuaian kapasitas. Sehingga bila demand tersebut tinggi, mereka bisa meminta agar mendapat slot untuk mendarat di Ngurah Rai. Seperti yang kita lihat contohnya dengan Singapore Airlines,’’ kata Hery Sudiarto, Executive Director Probali Tours.

Handy Heryudhitiawan, General Manager PT. Angkasa Pura I Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, dalam keterangan tertulisnya (23/1/2023), dalam menanggapi pertanyaan dari Tourism for Us, menyampaikan, ‘’Sampai dengan saat ini, kami belum mendapatkan konfirmasi dari maskapai-maskapai tersebut (Southern China Airlines dan Eastern China Airlines, red.) terkait penerbangan langsung dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) khususnya mainland.’’

Diterangkannya lebih lanjut, saat ini Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali telah melakukan pelayanan penerbangan langsung dari RRT yang dioperasikan oleh Cathay Pacific, China Airlines dan Eva Air.

Cathay Pacific adalah maskapai penerbangan berbasis di Hongkong melayani rute Hongkong-Bali-Hongkong juga dari kota-kota di Cina daratan. Sedangkan China Airlines dan Eva Air, dua maskapai penerbangan asal Taiwan, melayani rute Taipei-Bali-Taipei. Kedua maskapai Taiwan itu juga melayani penerbangan dari dan ke beberapa kota di Cina daratan.

Di luar dari wisatawan yang datang dengan pesawat charter, Probali Tours mengungkapkan telah mulai menerima wisatawan dari Tiongkok. Mereka datang menggunakan penerbangan reguler dengan transit.

Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf Ni Made Ayu Martini berbincang dengan wisatawan Tiongkok dari charter flight yang baru mendarat di Bali. [Foto; Birkompublik Kemenparekraf]

Diplomasi B-to-B dan B-to-G untuk travel trade Tiongkok-Bali yang lebih baik

Bali Tourism Board maupun asosiasi-asosiasi perjalanan dan para pelaku industri pariwisata Bali berharap, travel trade antara Tiongkok dan Bali pasca pandemi akan lebih baik. Praktik-praktik bisnis ilegal yang menciptakan ‘Zero Dollar Tourism’ di sektor pasar wisatawan Tiongkok telah merusak tatanan niaga pariwisata di Bali dan meninggalkan citra buruk serta ketidakpercayaan wisatawan.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah meregulasi dan mengawasi usaha-usaha seperti toko-toko yang menjual produk-produk yang dicari dan digandrungi khususnya oleh wisatawan Tiongkok. Regulasi dan pengawasan dilaksanakan secara terintegrasi dan berwibawa sehingga tidak ada kesan tebang pilih.

Pemerintah selaku regulator perlu memahami, potensi keuntungan dari kue pariwisata ini sangat menggiurkan. Celah-celah pengaturan hukum yang mungkin belum terisi dan pasar yang semakin bebas memungkinkan praktik-praktik ilegal marak terjadi.

‘’Pemerintah harus tertibkan toko-toko itu agar mereka berbisnis dengan baik dan benar di Bali,’’ tegas Mei Lan dari Star Tour Bali yang juga anggota Komite Pasar Tiongkok Bali Tourism Board.

DPD ASITA Bali mengusulkan, tujuan wisata belanja bagi wisatawan Tiongkok harus memuat konten lokal. Salah satunya mengunjungi toko-toko kerajinan-kerajinan lokal yang diusahakan oleh UMKM. Selain itu, pembayarannya pun dilakukan dengan menggunakan platform yang ada dan berlaku di Bali dan Indonesia.

Bali membutuhkan diplomasi G-to-G dan G-to-B Untuk mencapai travel trade yang lebih baik dan berkualitas antara Tiongkok dan Bali. Langkah ini diperlukan untuk memulihkan citra destinasi dan kepercayaan wisatawan Tiongkok bahwa pariwisata di Pulau Dewata adalah pariwisata berkualitas.

Pemerintah Indonesia melalui Kemenparekraf perlu melakukan kerja sama atau MoU G-to-G dengan Tiongkok. Kerja sama ini guna memproteksi jalannya B-to-B kedua negara secara legal dan taat hukum internasional maupun hukum yang berlaku di kedua negara.

Bila kedua negara memiliki kesepakatan maka wisatawan Tiongkok akan ditangani oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar atau legal sejak dari Tiongkok sampai tiba di destinasi Bali. Perusahaan-perusahaan perjalanan di Bali juga legal dan di bawah binaan asosiasi-asosiasi perjalanan yang diakui legalitasnya oleh Pemerintah Indonesia. Baik pemerintah dan swasta di Tiongkok maupun pemerintah dan swasta di Indonesia bisa saling mengawasi. Dengan demikian, keamanan, keselamatan dan kenyamanan wisatawan Tiongkok selama berada di Bali dan di destinasi manapun di Indonesia benar-benar terjaga keamanan, keselamatan dan kenyamanannya. Seperti wisatawan Indonesia yang berwisata ke Tiongkok yang harus menggunakan agen perjalanan resmi.  

‘’Kita perlu meng-update white list travel agent Indonesia dan Tiongkok. Karena update white list terakhir listing travel agent Indonesia tahun 2016,’’ tambah Hery.

Selain itu juga dibutuhkan diplomasi G-to-B. Seperti kita ketahui, Cina memiliki platform dan sistemnya sendiri. WeChat dan Alipay merupakan platform paling umum digunakan oleh warga Tiongkok termasuk ketika mereka berwisata keluar negeri. Melarang penggunaan kedua platform tersebut di sini mungkin bukan langkah bijak dalam kerangka menarik wisatawan Tiongkok. Tetapi pada saat yang sama, kita juga harus memproteksi pendapatan dari wisman untuk tetap tinggal di Indonesia.

Ini mungkin akan menjadi diplomasi yang lebih sulit dibandingkan update white list travel agent di kedua negara. Tetapi kita harus melakukannya.

‘’Kalau kita mau menjadikan Bali sebagai destinasi berkualitas maka hal seperti sistem pembayaran harus bisa di-maintain dengan regulasi. Jangan dilepas begitu saja,’’ ucap Putu Winastra.

Karena traveltech dan fintech jauh lebih canggih daripada sebelum pandemi, keberadaan online travel agent (OTA) di pasar wisatawan Tiongkok, mungkin lebih sehat daripada offline travel agent. OTA yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan rintisan (startup) perlu melakukan promosi-promosi gencar bahkan berani untuk menunjukkan perusahaannya ‘’growth’’. Selain menawarkan kemudahan karena bisa dilakukan di ponsel, promosi-promosinya itu yang menarik konsumen hingga melakukan pembelian.

Keberadaan OTA telah membantu pemasaran dan penjualan destinasi beserta produk-produknya. Tetapi, kita juga tidak boleh terlalu terpukau dengan yang-serba-daring. Dengan semakin canggihnya traveltech dan fintech, pengawasan baik terhadap pelaku pariwisata di dalam ekosistem platform OTA dan pembayarannya akan menjadi lebih rumit. Pelaku industri pariwisata di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya sudah tentu tidak bisa menjangkau dan melakukannya sendirian.

Di sisi produk perjalanan, pelaku industri pariwisata perlu merancang produk-produk wisatanya lebih inovatif. Sehingga paket-paket wisata baru ke Bali tampak lebih  menarik namun tetap sesuai dengan permintaan dan karakter wisatawan Tiongkok.

Selain itu, paket-paket wisata Bali tidak dijual dengan harga murah. Karena pada akhirnya pelaku industri akan bergelut dalam persaingan tidak sehat. Kemudian para pelaku pariwisata di Bali diharapkan belajar dari pengalaman pandemi sehingga bisa lebih menjaga tata kelola manajemennya lebih profesional dan memahami faktor resikonya.

‘’Paket turnya harus menarik dan lebih berkualitas. Kalau paket tur kita sudah berkualitas dan menarik, mereka mau membeli itu, akan sama-sama mendapat untung. Maka ‘Zero Dollar Tourism’ tidak akan ada lagi. Kami juga sudah sampaikan kepada kementerian bahwa kita harus menyiapkan waktu untuk sales mission ke beberapa kota di Tiongkok guna menarik wisatawan kembali ke sini,’’ pungkas Winastra.***(Yun Damayanti)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *