PARIWISATA INDONESIA MURAH ATAU MAHAL: BUDGET DAN PERILAKU TURIS TIDAK SELAMANYA EKIVALEN

Tourism for Us – Antara budget perjalanan dan perilaku turis tidak selamanya otomatis ekivalen. Kami rekonstruksi ulang latar belakang dan faktor penyebabnya di sini.

Biaya transportasi yang membuat traveling ke Indonesia lebih mahal

Transportasi udara menjadi pilihan utama bepergian ke Indonesia. Negeri kepulauan ini letaknya paling ujung tenggara benua Asia dan terpisah dari daratan utama benua. Perjalanan multidestinasi lompat pulau (island hopping) diperkirakan dapat menghabiskan 30-40 persen dari total anggaran.

Eka Moncarre, eks Country Manager VITO Perancis, menerangkan, bepergian ke Indonesia jauh lebih mahal daripada ke Thailand dan banyak negara. Ini diungkapkannya di Live Chat Tourism Talks Club ‘’Pariwisata Indonesia Gak Murahan (Indonesian Tourism: Cheap vs Expensive?)’’ pada Senin, 3 April 2023, via Zoom.

‘’Untuk perjalanan long haul, tiket pesawat ke Thailand dan banyak negara lebih murah daripada ke Indonesia. Khususnya di pasar Perancis, dari Paris ke Bali tiketnya sekitar 1500 Euro. Sekarang minimal 1000 Euro. Apakah Indonesia merupakan negara yang murah untuk orang Perancis atau orang Eropa, sama sekali tidak. Indonesia tidak pernah menjadi negara yang murah,’’ ujar Eka.

Diolah oleh Tourism for Us

Dalam masa pemulihan menuju tingkat sebelum pandemi, maskapai-maskapai penerbangan melakukan kerja sama code share. Maskapai memilih solusi ini untuk melayani permintaan dan kebutuhan penumpang yang terus meningkat walaupun tidak melayani penerbangan langsung hingga destinasi terakhir.   

Bagi wisatawan dan pelaku industri pariwisata, ketersediaan penerbangan langsung ke destinasi merupakan salah satu upaya mereduksi biaya dan mengefektifkan waktu perjalanan. Penerbangan langsung juga menjadi kampanye yang bagus bagi destinasi.

Namun, maskapai penerbangan pasti akan melihat tingkat keterisian pesawat pergi dan pulang (PP) waktu akan membuka rute penerbangan langsung. Para pemangku kepentingan di destinasi perlu memahami, jika mau menarik penerbangan langsung hanya bertumpu pada satu sektor, pariwisata misalnya, dan tidak bisa menumbuhkan permintaan lainnya, itu tidak akan menarik bagi bisnis penerbangan. Sementara untuk mendorong code share, maskapai akan melihat pada level layanan maskapai lain yang akan bekerja sama.

Budget Perjalanan vs Perilaku Turis

Antara budget perjalanan dan perilaku turis tidak 100% dan selamanya otomatis ekivalen. Wajib diingat, di era informasi berada di genggaman setiap orang, kita dituntut harus bekerja lebih tekun dan cermat memperbarui informasi (baca: update).

Dalam memperbarui informasi, kita harus memastikan informasi yang disampaikan dapat dimengerti oleh orang lain. Karena yang memahami informasi adalah MANUSIA, bukan kecerdasan buatan (artificial intelligent) yang ditanamkan ke dalam mesin pencari (search engine).

Sayangnya, di Indonesia telah terbentuk opini, wisatawan FIT (free individual traveler) yang merencanakan dan mengelola perjalanannya sendiri paling banyak melanggar aturan. Karena mereka traveling dengan biaya sehemat mungkin jadi otomatis tidak terpandu dengan informasi yang baik. Akhirnya, mereka dinilai kurang sensitif terhadap budaya lokal, berani melanggar peraturan, dan tidak peduli dengan kelestarian lingkungan.

Tetapi, tidak semua wisatawan mancanegara (wisman) FIT yang berkunjung ke Indonesia pasti melanggar peraturan. Mereka memang tidak menggunakan jasa agen perjalanan untuk mengatur keseluruhan perjalanannya. Barangkali banyak juga yang belum tahu atau menyadari, mereka akan mencari operator-operator lokal dan dapat dipercaya ketika sudah berada di destinasi.

Dari sudut pandang FIT, mereka ingin lebih bebas melihat dan merasakan di luar yang ada dalam brosur agen perjalanan. Ada juga mereka yang cukup idealis, ingin memastikan pengeluarannya diterima langsung oleh warga lokal.  

‘’Sama sekali tidak ada hubungan turis yang berbuat hal-hal yang melanggar peraturan atau bad tourists dengan Indonesia yang dikatakan menjual murah pariwisatanya seperti di satu unggahan TikTok beberapa waktu lalu. Ada banyak sekali salah paham yang harus diluruskan di sini,’’ kata Eka.

‘’Wisatawan yang bertujuan mengeksplorasi dan ingin mengenal Indonesia tidak akan mau melanggar peraturan. Kita harus menjelaskannya sebagai tuan rumah. Kita harus menginformasikannya kepada wisatawan. Bukan hanya satu kali tapi berkali-kali. Ini penting!,’’ tambahnya.

Indonesia terkenal mempunyai tradisi dan adat-istiadat. Kita yang harus menjelaskannya kepada wisman bahkan sebelum dia berangkat dari negaranya. Bagaimana traveling di Indonesia: bagaimana adat istiadat dan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan di Bali; adat istiadat dan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan di Jawa, dan seterusnya penjelasan terkait adat istiadat dan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Papua, di Nusa Tenggara, di Maluku. Penjelasan-penjelasan itu sekaligus mempromosikan destinasi.

Eka menuturkan pengalamannya, ‘’Sampai sekarang, setiap orang Perancis yang mau ke Indonesia datang ke saya. Mereka bertanya, ‘Apa yang harus saya lakukan kalau ke Indonesia?’, ‘Apa yang harus saya lakukan kalau saya di Bali?’, Jadi, mereka itu selalu mau bertanya dahulu bagaimana tata tertib dan apa kebudayaan di Indonesia.’’

Dijelaskannya lebih lanjut, sejak dipercaya dan diangkat menjadi Country Manager Visit Indonesia Tourism Officer (VITO) Perancis pada 2016, dia dan timnya tidak pernah membawa Indonesia untuk dijual murah. Indonesia dipromosikan sebagai destinasi yang value for your money.

‘’Jadi, kalau ada orang Eropa yang dengan harga mahal kemudian dia masih mengatakan itu murah, itu suatu kebanggaan bagi kita. Itu berarti untuk dia harganya bukan murah karena murahan. Tetapi dia merasa, lebih baik ke Indonesia daripada jalan-jalan ke negara lain. Itu yang sudah kami lakukan di sini, yang sedang kami lakukan saat ini, dan kami akan terus lakukan itu,’’ tambahnya.

Percayalah! Menjadi FIT tuh tidak seindah foto dan video yang diunggah di Instagram dan TikTok. Perlu investasi waktu untuk meriset sebelum perjalanan dilakukan. Belum lagi, semua resiko selama perjalanan ditanggung sendiri. Maka pada umumnya, FIT asing sudah merencanakan perjalanannya dengan baik dan hati-hati, termasuk memperhitungkan total biaya yang dibutuhkan. Hanya segelintir dari mereka yang ceroboh hingga kehabisan bekal dan lain-lain sampai nekad melanggar peraturan. Mereka yang melanggar harus menanggung konsekuensinya.

Bagaimana mencegah turis asing melakukan pelanggaran

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh turis asing sudah berlangsung jauh sebelum pandemi. Jadi bukan marak terjadi saat ini saja. Hanya saja hal tersebut tidak diekspos dan diviralkan melalui media sosial. Pun bagaimana konsekuensi penyelesaian hukumnya tidak pernah jelas dan publik tidak pernah tahu.

Pemangku kepentingan pariwisata di Indonesia sudah saatnya berkontemplasi: apakah wisman sudah mengetahui peraturan/tata tertib yang berlaku di Indonesia?  Apakah mereka cukup mengerti peraturan/tata tertib di setiap destinasi? Tetapi, kenapa masih ada wisman yang melanggar aturan/tata tertib? Apakah kita sudah menyampaikan atau menerangkan peraturan sejelas-jelasnya?

Dengan slogan ‘hidup seperti orang lokal’ (live like locals) yang diagungkan oleh wisatawan FIT, mungkinkah mereka melanggar karena melihatnya di media sosial atau menyaksikannya sendiri bagaimana warga lokal, misalnya, tidak menggunakan helm, melawan arah lalu lintas, kemudian ‘’membayar’’ aparat ketika melakukan pelanggaran di jalan raya? Sehingga mereka berpikir dan mengambil kesimpulan, ‘’Oh, itu memang kebiasaan dan budaya di sini.’’  

Di zaman media sosial, tidak bisa ditampik, orang-orang berlomba-lomba membuat konten-konten yang mampu mendulang banyak perhatian. Tanpa mendiskreditkan sebuah atau beberapa negara, tetapi juga termasuk warga negara Indonesia sendiri, demi konten tidak sedikit dari mereka mengabaikan aturan, tata tertib, nilai-nilai budaya lokal, kelestarian alam dan bahkan keselamatan dirinya sendiri. 

Bila ingin kedaulatan hukum Republik Indonesia tidak diremehkan, mulai dari aparat sampai masyarakatnya harus berkomitmen menaati peraturan yang ada. Kita semua konsekuen menjalankannya. Atau jangan-jangan, dunia sudah menertawakan kita, ’’Mereka yang membuat peraturan tapi mereka yang melanggarnya sendiri.’’

Daniel Nugraha, Direktur Exotic Java Trails, salah satu operator tur inbound berbasis di Bandung, berpendapat, ‘’Peraturan atau tata tertib di Indonesia bisa disosialisasikan melalui Kementerian Luar Negeri, melalui kedutaan besar dan perwakilan-perwakilan Indonesia lainnya di luar negeri, tidak hanya di Eropa. Apalagi sekarang, Indonesia sudah tidak punya perwakilan dari Kementerian Pariwisata di luar negeri. Kami, pelaku industri, pasti akan menjelaskan atau mensosialisasikannya pada saat wisatawan mau sewa.’’

Yun Damayanti, travel writer juga Founder The J-Team dan Tourism for Us, melihat, sosialisasi peraturan-peraturan yang berlaku secara nasional di seluruh Indonesia, tata tertib sosial yang berakar pada budaya di mana di masing-masing destinasi berbeda-beda, sudah semestinya menjadi materi konten dalam mempromosikan pariwisata Indonesia, baik di dalam negeri maupun di mancanegara.

‘’Konten-konten informatif seperti peraturan, tata tertib, Dos & Donts di setiap destinasi sama pentingnya dengan konten-konten berisi visual yang indah-indah dan membuat orang lain bermimpi. Wisatawan di luar sana membutuhkannya. Kita punya peraturan yang berlaku secara nasional. Kita juga memiliki tata tertib sosial yang berlaku di masyarakat. Tata tertib sosial di Bali tidak akan sama dengan di Jogja, di Labuan Bajo, di Toba, di Raja Ampat dan lain-lain. Itu merupakan salah satu cara yang mudah dan bisa kita lakukan untuk mencegah pelanggaran. Negara-negara lain sudah melakukannya,’’ kata Yun.

Aturan seperti punya izin mengemudi dan menggunakan helm memang diterapkan di seluruh dunia. Tetapi, masing-masing negara mempunyai peraturannya sendiri.

‘’Hanya karena itu diterapkan secara internasional, bukan berarti kita menganggap warga dari negara lain sudah pasti tahu aturan berlalu lintas ketika berada di Indonesia. Itu salah satu contoh saja,’’ tambahnya.

Eka mengusulkan, Indonesia dapat membuat konten-konten video ‘How to Drive in Indonesia’, ‘How to Drive in Bali’. Konten-konten informatif seperti itu, dikemas dengan menampilkan visual destinasi, akan jauh lebih baik dan membuat citra Indonesia bagus di mata wisman.

Destinasi lain pun menghadapi persoalan serupa dengan Indonesia

Pelanggaran hukum dan tata tertib oleh orang asing bukan hanya terjadi di Bali dan Indonesia saja. Destinasi di seluruh dunia juga menghadapinya.

Destinasi ternama seperti Paris sekalipun menghadapi pencuri dan pencopet. Pelakunya bukan orang Perancis melainkan orang-orang dari negara-negara lain. Thailand yang dikunjungi wisman lebih dari dua kali lipat Indonesia juga menghadapi persoalan overstay, wisatawan yang bekerja secara ilegal misalnya menjadi tour guide, tindakan yang dinilai menghina raja atau tidak menghormati budaya dan lain-lain. Di kedua destinasi tersebut, hukum ditegakkan tanpa bisa ditawar-tawar.

‘’Saya pikir, semua negara punya masalah seperti itu. Oleh karena itu, kita harus bersama-sama, bersatu, saling menjaga keamanan pariwisata Indonesia,’’ ucap Eka.

Dia sendiri pernah beberapa kali mendapat laporan dari pemandu-pemandu di Bali. Ada orang-orang asing yang membuka usaha biro perjalanan gelap. Laporan itu diteruskannya ke Dinas Pariwisata Bali.

‘’Saya akan lakukan apa yang saya bisa,’’ katanya.

Tourism for Us berkolaborasi dengan Le Maison De L’Indonesie dan Jelajah Bandung menggelar Live Chat Tourism Talks Club ‘’Pariwisata Indonesia Gak Murahan (Indonesian Tourism: Cheap vs Expensive?)’’ bulan lalu. Live Chat mendiskusikan issue terkini yang meresahkan pelaku industri pariwisata maupun wisatawan yaitu pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh turis asing. Sampai-sampai ada tudingan, pariwisata Indonesia dijual murah karena itu semakin banyak turis asing melanggar aturan.

Melalui diskusi ini diharapkan, semua pihak (pelaku industri, pemerintah, dan masyarakat), pemangku kepentingan pariwisata Indonesia, dapat melihat persoalan-persoalan yang terjadi secara lebih proposional dan komprehensif. Agar kesalahpahaman yang telah terjadi karena viralisasi issue tersebut tidak berlarut-larut dan akhirnya mengacaukan pariwisata Indonesia yang masih berada di tahap survival.***(Yun Damayanti) 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *