INDONESIA MOUNTAIN TOURISM CONFERENCE: MENJAGA DAN MENGEMBANGKAN PARIWISATA GUNUNG MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Tourism for Us – Konferensi pertama pariwisata gunung Indonesia mengungkapkan, betapa besar volume dan nilai (value) wisata minat khusus ini. Pariwisata gunung semakin diminati oleh wisatawan yang datang ke gunung untuk melakukan aktivitas pendakian (hiking, trekking). Perkembangannya diprediksi meningkat hingga tiga kali lipat dari sebelum pandemi. Kegiatan wisata di gunung sudah menjadi industri yang menyerap banyak talenta dan tenaga kerja lokal. Pariwisata di gunung-gunung Indonesia membutuhkan perhatian dan aksi serius dari semua pemangku kepentingan.

Indonesia Mountain Tourism Conference (IMTC) telah berlangsung pada hari Rabu, 27 September 2023, di Hotel Santika Premier Hayam Wuruk Jakarta. Konferensi berlangsung selama sehari penuh dan diikuti 125 peserta yang hadir langsung dan 281 peserta mengikutinya secara daring (online). Konferensi pertama mengenai pariwisata gunung di Indonesia ini diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).
Dalam sambutannya saat meresmikan IMTC 2023, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kemenparekraf Vinsensius Jemadu mengatakan, menurut laporan Adventure Travel Trade Association (ATTA) wisata gunung merupakan salah satu tren perjalanan pascapandemi COVID-19.
Selain itu, menurut data yang dihimpun oleh APGI, total 150 ribu wisatawan mancanegara (wisman) dan tiga juta pendaki domestik mendaki gunung-gunung di Indonesia sepanjang tahun 2019. Nilai dari pariwisata gunung pada tahun itu mencapai USD 150 juta. APGI merilis data tersebut pada tahun 2020.
Indonesia memilki 400 gunung. 127 diantaranya adalah gunung berapi aktif yang tidak semua negara di dunia memilikinya. Ini merupakan potensi luar biasa Indonesia yang bisa dikembangkan dan dimajukan sehingga memberi dampak signifikan kepada masyarakat di sekitarnya.
‘’Kita punya angka yang besar sekali di pariwisata gunung. Itu sangat signifikan dan perlu perhatian. Tujuan konferensi ini adalah mensosialisasikan betapa pentingnya wisata gunung di Indonesia yang mungkin selama ini belum menjadi perhatian serius baik dari pemerintah maupun dari para pemangku kepentingan lainnya. Kegiatan ini merupakan usaha kita bersama dalam merespon perkembangan wisata gunung yang cukup fenomenal dalam satu dekade terakhir,’’ ujar Deputi Visensius.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kemenparekraf mengingatkan, permintaan pasar semakin variatif dan menuntut standar pelayanan lebih tinggi dari tahun ke tahun. Kompetisi juga semakin meningkat. Pelaku industri wisata gunung pun harus semakin kreatif, produktif dan efisien.
Penyelenggaraan IMTC 2023 diharapkan dapat menghasilkan kesapakatan-kesapakatan agar pemangku kepentingan bisa meningkatkan pelayanan di wisata gunung. Karena pelayanan selalu berkorelasi dengan kualitas dan sumber daya manusia (SDM).
Perubahan teknologi, sosial budaya, kesehatan, juga bencana alam dan pasar yang semakin terbuka, serta kebijakan pemerintah ikut berperan dalam mendukung lingkungan bisnis wisata gunung menjadi semakin dinamis. Salah satu isu klise di Indonesia adalah kemajuan atau dinamika di lapangan sudah berkembang jauh sekali baru kemudian dibuat kebijakan dan peraturannya.
‘’Saya minta kepada APGI dan para pemangku kepentingan industri memberikan masukan dan insight kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan. Agar kebijakan yang dihasilkan visioner, sifatnya jauh ke depan. Kebijakan-kebijakan yang sifatnya mitigatif, kita dapat lakukan. Jangan sampai, suatu perubahan atau kejadian terjadi terus tetapi kita tidak tahu mau mengacu ke aturan mana. Karena ini sering kali terjadi,’’ kata Visensius.
‘’Pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus bergandengan tangan. Agar bisa memperbaiki bahkan juga meningkatkan kualitas tata kelola wisata gunung. Karena bagaimanapun good governance destination khususnya wisata gunung sangat penting. Ke depannya, kita semua mempunyai kesamaan pandangan terkait arah pengembangan wisata gunung ke depannya,’’ tambahnya,

Wisata di gunung juga harus menjadi pariwisata berkualitas. Kualitas wisata di gunung dilihat dari interaksi antara wisatawan dengan gunung itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Lewat konferensi ini sekaligus mengedukasi masyarakat untuk mulai menerapkan prinsip-prinsip wisatawan gunung, trekkers dan hikers, yang bertanggung jawab.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr. Nandang Prihadi, S.Hut., M.SC., menyatakan, ‘’We will go on to sustainable tourism. Quality tourism, itu yang kita inginkan. We are not going to have record of numbers of visitors or trekkers. We want quality of trekkers. Jadi yang kita inginkan adalah pendaki berkualitas, pendaki yang cerdas, dan pendaki yang bertanggung jawab.’’
Pihaknya sekarang mengedepankan social marketing. Artinya, promosi yang dilakukan bukan lagi mengundang sebanyak-banyaknya orang berkunjung tetapi mendidik, mencerdaskan, dan mengedukasi pengunjung mengenai pendakian ke gunung. Termasuk potensi-potensi bahaya yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan pengunjung selagi menikmati keindahan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita.
Penguatan protokol dan SOP
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi KLHK meminta kepada semua pihak, baik wisatawan atau pendaki maupun operator wisata dan pemandu, mengikuti dan mematuhi semua tata tertib pendakian yang ditetapkan oleh pengelola kawasan. Protokol dan SOP yang ditetapkan oleh pengelola guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
‘’Tolong! Ikuti tata tertib pendakian yang ditetapkan oleh pengelola. Ini adalah salah satu protokol. Protokol, SOP yang ditetapkan pengelola itu harus dipatuhi oleh para pengunjung dan pendaki. Mudah-mudahan tour operator dan para pemandu juga sudah memastikan pendaki yang akan bergabung atau yang dipandu oleh mereka sudah siap. Sudah paham. Sudah tahu pendakian. Punya fisik yang prima dan mampu,’’ tegas Nandang.

KLHK melihat, pendakian menjadi populer dan tren sekarang. Tetapi, banyak orang yang mendaki gunung tidak siap dan tidak terlatih. Mereka berpikir, pendakian merupakan suatu olahraga biasa yang mudah dan semua orang bisa melakukannya. Sampah anorganik dan organik ditinggalkan begitu saja karena nanti pasti ada petugas yang membersihkannya.
KLHK berharap, dengan semakin populernya kegiatan naik gunung, wisatawan yang datang punya bekal pemahaman kenapa tidak boleh membuat api, tidak boleh membawa barang-barang dari plastik, tidak buang air sembarangan dan seterusnya.
Membuat api untuk memasak dan api unggun pada malam hari untuk menghangatkan tubuh memang sudah biasa. Pendaki yang menginap di gunung harus memastikan, api sudah betul-betul padam sebelum meninggalkan tempat. Tidak ada bara api sekecil apapun sebelum melanjutkan perjalanan ke fase atau trek berikutnya. Api kecil adalah sahabat tetapi begitu membesar dia menjadi bahaya.
Tidak ada cleaning service khusus yang membersihkan gunung setiap saat. Sampah-sampah di gunung dibawa turun bersama-sama oleh petugas, relawan dan komunitas serta masyarakat. Membersihkan gunung dan membawa sampah turun bukan perkara mudah juga menghabiskan biaya besar.
Sisa-sisa bahan makanan yang dibawa ke gunung bila tidak diperlakukan dengan baik akan membuat hewan-hewan bergantung dari kedatangan manusia. Itu dapat mengancam karena mereka mungkin tidak bisa lagi beradaptasi hidup di alam liar. Kotoran manusia yang tidak diperlakukan dengan baik juga akan menjadi polutan yang mengotori tanah dan air. Selain tidak enak dilihat, itu pun dapat mengancam kesehatan pengunjung di gunung.
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi KLHK mengakui, sarana dan prasarana yang ada belum optimal, seperti shelter, toilet, pengamanan, SDM dan lain-lain.
‘’Keadaan terus berubah. Kami harus menghadapi pengunjung. Kami menghadapi turis. Kami juga harus menjadi intepreter. Kami tidak dipersiapkan untuk itu. SDM yang ada dilatih untuk menjadi polisi kehutanan (polhut),’’ tutur Nandang.
Bagaimanapun, KLHK menyadari perlu meningkatkan kapabilitas SDM di internalnya melalui pelatihan-pelatihan. Selain itu, penguatan SOP dan peraturan terus didorong.
KLHK sedang merevisi PP Nomor 12 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan hutan konservasi. Di dalam revisi itu termasuk penerapan denda bagi mereka yang tidak mempunyai izin atau tiket masuk yang legal dan pelaku pelanggaran-pelanggaran lainnya. Denda yang diusulkan sebesar lima kali dari harga tiket masuk. Hal ini dilakukan agar dapat memberi efek jera. Revisi peraturan pemerintah ini sudah memasuki tahap akhir sebelum diundangkan.
Selain revisi PP Nomor 12 Tahun 20014, KLHK pun tengah mempersiapkan peraturan terkait asuransi. Salah satu tata kelola bahaya adalah pendaki atau pengunjung ke taman nasional harus mempunyai asuransi yang mencakup klaim biaya search and rescue.
‘’Peraturannya masih digodok. Kami juga butuh kejelasan dari perusahaan asuransi seperti apa. Asuransi itu akan dibebankan kepada pendaki, baik domestik maupun asing. Agar ketika Basarnas bekerja, mereka tidak kelimpungan,’’ pungkas Nandang.

Rahman Mukhlis, Ketua Umum APGI, menerangkan, APGI selaku asosiasi profesi fokus pada kompetensi di wisata gunung. Saat ini, sebanyak 2000 pemandu gunung di bawah naungan APGI besertifikat secara nasional. Pemandu gunung bersertifikat ini tersebar di 21 provinsi.
‘’Kami sangat menyarankan kepada wisatawan yang hendak mendaki gunung untuk menggunakan pemandu-pemandu gunung bersertifikat. Itu dalam rangka mengedukasi dan memberikan layanan prima bagi wisatawan. Dan dapat dipastikan, di destinasi-destinasi wisata gunung unggulan sudah ada pemandu yang bersertifikat,’’ kata Rahman.
Dengan ditemani pemandu gunung, keselamatan dan keamanan wisatawan lebih aman dan terjaga. Selain itu, pemandu gunung akan mengintepretasikan berbagai hal tentang gunung dan masyarakatnya. Sehingga perjalanan ke gunung lebih dari sekedar kegiatan fisik dan swafoto.
Sejatinya, perjalanan di gunung adalah sebuah proses management diri dan kerja sama tim. Bukan siapa yang terkuat atau tercepat mencapai puncak. Gunung tidak pernah menantang untuk ditaklukan. Kitalah sebenarnya yang ‘menaklukan’ diri sendiri.***(Yun Damayanti)