SINYAL SOS DARI INDUSTRI PERHOTELAN DAN RESTORAN JAKARTA: PENURUNAN OKUPANSI, KENAIKAN BIAYA OPERASIONAL, DAN ANCAMAN PHK MASSAL

Tourism for Us – Hasil survei Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (BPD PHRI DK Jakarta) menunjukkan bahwa 96,7% hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Survei itu dilakukan terhadap anggotanya pada bulan April 2025. Dari hasil survey tersebut, asosiasi hotel dan restoran menyampaikan kekhawatiran terhadap kondisi industri hotel dan restoran di Jakarta yang menunjukkan tren menurun, terutama pada triwulan pertama tahun 2025. Pelaku industri berharap tren penurunan ini tidak berlanjut karena akan memberikan dampak domino yang lebih luas.  

(Foto: Kemenparekraf)

BPD PHRI DK Jakarta menyampaikan hasil surveinya dan mengungkapkan kondisi terkini industri perhotelan dan restoran di Jakarta dalam jumpa pers daring hari ini, Senin (26/5/2025). Hadir selaku narasumber Ketua BPD PHRI DK Jakarta Sutrisno Iwantono, Sekretaris BPD PHRI DK Jakarta Priyanto, dan Singgih Santoso, Dewan Pakar PHRI Pusat.  

Ketua BPD PHRI DK Jakarta Sutrisno Iwantono mengungkapkan bahwa industri ini tengah menghadapi tekanan berat dari berbagai sisi. Tingkat hunian hotel mengalami penurunan, sedangkan biaya operasional meningkat tajam dan membebani kelangsungan usaha. Seiring dengan itu, banyak pelaku usaha terpaksa melakukan berbagai strategi efisiensi operasional termasuk pengurangan tenaga kerja.

Dari hasil survei menunjukkan bahwa penurunan tingkat hunian dan pendapatan merupakan faktor utama yang memperburuk kondisi industri perhotelan di Jakarta. Sebanyak 66,7% responden menyebutkan bahwa penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintah, seiring dengan kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan oleh pemerintah.

Pasar perhotelan di Jakarta 98% adalah pasar domestik/lokal, dan pasar pemerintah menyumbang 66% dari keseluruhan pasar tamu domestik. Oleh karena itu, penurunan dari pasar pemerintah semakin memperburuk ketergantungan industri hotel terhadap wisatawan domestik.

Sementara itu, kontribusi wisatawan mancanegara (wisman) terhadap kunjungan ke Jakarta masih tergolong sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2019 hingga 2023, rata-rata persentase kunjungan wisman ke kota terbesar di Indonesia ini hanya mencapai 1,98% per tahun jika dibandingkan dengan wisatawan domestik. Kondisi itu mencerminkan strategi promosi dan program pemerintah kurang efektif dalam mendatangkan wisman, khususnya ke Jakarta.

Jumlah hotel di Jakarta sekitar 900 unit. PHRI DK Jakarta mencatat rata-rata tingkat keterisian kamar sekarang di kisaran 40%. Sebelum penghematan anggaran pemerintah, okupansi hotel berbintang antara 53% hingga 54%, tetapi sekarang sekitar 45%. Rata-rata tingkat keterisian kamar hotel non-bintang sebelumnya sekitar 40% dan sekarang di kisaran 20%.

Event, konser, dan lain-lain memang membantu keterisian kamar hotel, tetapi itu tidak berlangsung lama dan hanya di area-area tertentu. Kemudian, kampanye ‘’Lebaran di Jakarta’’ tahun ini berdampak sedikit sekali bagi hotel.

Berbeda dengan sebelum pandemi Covid-19 ketika warga Jakarta yang tidak pulang kampung menginap di hotel karena ditinggal asisten rumah tangganya dan mereka berbelanja banyak di hotel. Sekarang, hotel menurunkan harga kamar agar mereka mau menginap. Langkah ini bisa mengungkit volume keterisian kamar, tetapi belanja mereka di hotel sedikit sekali. Namun, ketika hotel-hotel berbintang menurunkan harga, maka keterisian kamar hotel yang berada di bawahnya dan hotel non-bintang akan terimbas.

Sektor swasta diharapkan dapat mengisi kekosongan akibat dari pasar pemerintah yang berkurang signifikan. Namun, mereka juga pasti sedang melakukan efisiensi saat ini.

“Ketidakseimbangan struktur pasar menunjukkan perlunya pembenahan strategi promosi dan kebijakan pariwisata yang lebih efektif untuk menjangkau pasar internasional,” ujar Sutrisno Iwantono.

Faktor berikutnya adalah kenaikan biaya operasional.Tidak hanya dihadapkan pada berkurangnya pasar, pelaku usaha hotel juga harus menanggung peningkatan biaya operasional yang signifikan. Tarif air dari PDAM mengalami kenaikan hingga 71%, sementara harga gas melonjak 20%. Beban ini diperberat dengan kenaikan tahunan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tercatat meningkat hingga 9% tahun ini.

Dengan tekanan dari sisi pendapatan dan biaya yang tidak seimbang, banyak pelaku usaha mulai mengambil langkah-langkah antisipatif. Sebanyak 70% responden dalam survei BPD PHRI DK Jakarta menyatakan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi kebijakan yang mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, mereka akan terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan. Responden memprediksi akan melakukan pengurangan karyawan sebanyak 10% hingga 30%. Selain itu, 90% responden melakukan pengurangan daily worker dan 36,7% responden akan melakukan pengurangan staf.

(Foto: Birkompublik Kemenparekraf)

Dari industri restoran diungkapkan bahwa pasar utama restoran di Jakarta adalah kelas menengah. Restoran menghadapi dampak dari daya beli kelas menengah yang menurun dan berkurangnya jumlah kelas menengah.

Industri restoran juga semakin tertekan dengan biaya operasional yang semakin meroket. Food cost naik antara 8% sampai 10%, sehingga biaya pembelian bahan baku mencapai 38% dari biaya operasional.

Sama seperti pelaku industri perhotelan, pelaku industri restoran pun sudah melakukan berbagai upaya antisipatif. Mulai dari membuat paket-paket khusus dan promosi setiap hari sampai pengurangan pegawai dan tidak melakukan rekrutmen pegawai. Rekrutmen pegawai baru di restoran berkurang antara 20% hingga 30%.

Faktor ketiga adalah kerumitan regulasi dan sertifikasi. Pelaku industri hotel dan restoran masih dihadapkan pada tantangan administratif berupa regulasi dan sertifikasi yang dinilai rumit dan memberatkan. Banyaknya jenis izin yang harus dipenuhi, seperti izin lingkungan, sertifikat laik fungsi, hingga perizinan minuman beralkohol. Selain itu, proses birokrasi yang panjang, duplikasi dokumen antarinstansi, serta biaya yang tidak transparan dinilai menghambat kelangsungan usaha. Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi para pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Tanpa langkah konkret dan strategi pemulihan yang tepat, industri perhotelan sebagai salah satu tulang punggung pariwisata dan penyerap tenaga kerja berpotensi mengalami krisis berkepanjangan yang dampaknya bisa meluas ke sektor lain.

Dampak dari kondisi tersebut tidak terbatas pada sektor hotel dan restoran semata. Industri hotel dan restoran selama ini berkontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah DK Jakarta dengan rata-rata sumbangan sekitar 13%. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023 terdapat lebih dari 603 ribu tenaga kerja yang bergantung pada sektor akomodasi dan makanan-minuman di Jakarta.

Kemudian, penurunan kinerja sektor ini juga membawa efek domino terhadap sektor lain seperti UMKM, petani, dan pemasok logistik dari tetangga-tetangga Jakarta seperti Jawa Barat, Banten hingga Jawa Tengah, serta pelaku seni-budaya, mengingat eratnya keterkaitan rantai pasok dan ekosistem dalam industri pariwisata.

Menanggapi situasi ini, BPD PHRI DK Jakarta mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis. Beberapa usulan yang disarankan meliputi:

1) pelonggaran kebijakan anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan kegiatan rapat,

2) peningkatan promosi pariwisata yang lebih terarah dan berkesinambungan,

3) penertiban akomodasi ilegal yang merusak pasar dan tidak memiliki izin resmi,

4) peninjauan kembali terhadap kebijakan tarif air, harga gas industri, dan UMP sektoral, serta

5) penyederhanaan proses perizinan dan sertifikasi, termasuk mengintegrasikan sistem antarinstansi agar lebih efisien dan transparan.

PHRI DK Jakarta mengakui bahwa kondisi di perhotelan dan restoran saat ini masih sedikit lebih baik daripada saat pandemi Covid-19. Namun, para pengusaha tidak ingin kondisi sekarang menurun lagi. Oleh karena itu, pelaku industri perhotelan dan restoran di Jakarta berharap agar pemerintah dapat merespon secara cepat dan tepat terhadap berbagai permasalahan yang terjadi. Industri hotel dan restoran tidak hanya berperan penting dalam perekonomian, tetapi juga menjadi wajah pariwisata Jakarta di mata nasional maupun internasional. Dukungan nyata dari pemerintah akan menjadi kunci bagi kebangkitan sektor ini sebagai penggerak utama ekonomi Jakarta. ***(Yun Damayanti)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *