PERAMPINGAN JUMLAH BANDARA INTERNASIONAL TIDAK BERPENGARUH SIGNIFIKAN TERHADAP BISNIS PARIWISATA INBOUND INDONESIA
Tourism for Us – Kebijakan pemerintah ‘merampingkan’ jumlah bandara internasional dari 34 bandara menjadi 17 bandara tidak berpengaruh signifikan terhadap bisnis pariwisata inbound Indonesia. Karena bandara-bandara internasional yang paling banyak dilalui atau pintu utama wisatawan mancanegara (wisman) seperti Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Bandara Soekarno Hatta Jakarta, New Yogyakarta International Airport (NYIA), Bandara Internasional Lombok (BIL), Bandara Juanda Surabaya dan Bandara Kualanamu Medan masih dibuka.

Menanggapi kebijakan yang baru dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tersebut, Ricky Setiawanto, Sekjen Indonesia Inbound Tour Operators Association (IINTOA), mengatakan, pengurangan jumlah bandara internasional tidak berpengaruh signifikan terhadap bisnis operator tur inbound di Indonesia.
‘’Karena tidak ada airlines ke bandara-bandara internasional yang dicabut statusnya. Jadi, tidak ada tamu-tamu kami yang lewat bandara-bandara tersebut,’’ ujar Ricky.
‘’Yang menyebabkan jumlah bandara internasional dirampingkan karena tidak ada maskapai penerbangan yang melayani ke rute tersebut. Menurut kami, kebijakan Kemenhub baik. Karena memang tidak ada respon dari airlines internasional,’’ tambahnya.
Ketua Umum Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Agus Pahlevi, juga pemilik perusahaan operator tur lokal di Belitung, mengungkapkan, perubahan status dari bandara internasional kembali lagi menjadi bandara domestik di beberapa daerah tentunya merupakan kabar buruk. Karena keberadaan bandara internasional memudahkan wisman menjangkau destinasi wisata secara efisien baik dari sisi waktu maupun biaya.
Tetapi, status internasional bandara di destinasi kadang menjadi dilema. Seolah ‘bandara internasional’ hanya sebagai branding untuk meningkatkan kelas sebuah destinasi.
‘’Ada banyak bandara berstatus internasional tetapi hanya melayani rute pendek satu atau dua tujuan luar negeri. Bahkan ada yang belum melayani penerbangan internasional. Bandara-bandara yang statusnya berubah ke domestik saat ini memang belum melayani penerbangan internasional berjadwal pascapandemi,’’ kata Agus.
Agus hanya salah seorang yang merasakan, mendatangkan maskapai penerbangan mau melayani rute dari luar negeri ke destinasi beyond Bali tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah status Bandara H.A.S. Hanandjudin dinaikkan jadi bandara internasional, dan dengan Belitung sebagai satu dari 10 destinasi prioritas, pernah dicoba direct flight dari Singapura yang dioperasikan oleh maskapai Sriwijaya dan Garuda Indonesia. Namun, penerbangan-penerbangan langsung itu tidak sampai seumur jagung.
Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat maskapai penerbangan tidak tertarik melayani rute internasional ke suatu destinasi.
‘’Penerbangan merupakan salah satu investasi dalam pariwisata. Supaya maskapai mau berinvestasi yakni melayani rute ke destinasi, mereka perlu diyakinkan. Ketika kita berbicara wisatawan, berarti pertanyaannya, akan mengangkut berapa wisatawan. Kemudian, bagaimana usaha untuk mencapai target tersebut. Di sinilah lemahnya daerah dalam menarik investasi penerbangan,’’ terang Agus.
‘’Daerah yang bandaranya sudah berstatus internasional tetapi belum diterbangi penerbangan internasional berjadwal juga tidak berupaya untuk menarik penerbangan internasional,’’ tambahnya.
Agus pun mempertanyakan kebijakan Kemenhub, kenapa kebijakan layanan penerbangan internasional hanya boleh di 17 bandara baru dikeluarkan setelah pandemi. Akibatnya, daerah yang bandaranya sudah berstatus internasional tapi belum bisa diterbangi penerbangan internasional berjadwal jadi semakin tidak berupaya untuk menarik penerbangan internasional karena kebijakan
Pandangan serupa juga dilontarkan oleh Budijanto Ardiansyah, Wakil Ketua Umum DPP ASITA, ’’Banyak daerah hanya mau bandaranya menjadi bandara internasional. Tapi, pemerintah daerahnya sendiri tidak melakukan langkah-langkah yang konstruktif seperti melobi maskapai-maskapai asing, promosi pariwisata daerah harus digencarkan di negara asal maskapai (originasi), serta memberikan kemudahan di sisi bandaranya di sini.’’
Menurutnya, semakin banyak bandara internasional bagus untuk pariwisata. Asalkan bandara-bandara itu harus beroperasi sesuai klasifikasinya dan tidak hanya sekedar status saja.
17 bandara internasional pintu wisman saat ini
Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 31/2024 (KM 31/2004) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada tanggal 2 April 2024 lalu. KM ini menetapkan 17 bandar udara di Indonesia yang berstatus sebagai bandara internasional, dari semula 34 bandara internasional.

Adapun 17 bandara yang ditetapkan sebagai bandara internasional adalah sebagai berikut:
1.Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Aceh
2.Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatra Utara
3.Bandara Minangkabau, Padang Pariaman, Sumatra Barat
4.Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau
5.Bandara Hang Nadim, Banten, Kepulauan Riau
6.Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten
7.Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, DKI Jakarta
8.Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat
9.Bandara Kulonprogo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (NYIA)
10.Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur
11.Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali
12.Bandara Zainuddin Abdul Madjid, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (Bandara Internasional Lombok)
13.Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan, Kalimantan Timur
14.Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan
15.Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara
16.Bandara Sentani, Jayapura, Papua
17.Bandara Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur
Menurut data Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dari 34 bandara internasional yang dibuka pada periode 2015-2021, bandara yang melayani penerbangan niaga berjadwal luar negeri dari/ke berbagai negara adalah Soekarno-Hatta – Jakarta, I Gusti Ngurah Rai – Bali, Juanda – Surabaya, Sultan Hasanuddin – Makassar, dan Kualanamu – Medan.
Beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja. Bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional. Bahkan ada bandara yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional. Dua kriteria bandara terakhir ini menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya
“KM 31/2004 ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melindungi penerbangan internasional pascapandemi dengan menjadikan bandara sebagai hub (pengumpan) internasional di negara sendiri. Selama ini, sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara tertentu saja dan bukan merupakan penerbangan jarak jauh. Sehingga hub internasional justru dinikmati oleh negara lain,” kata Adita Irawati, Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (26/4).
Pengurangan jumlah bandara internasional dalam rangka meminimalisasi warga Indonesia bepergian keluar negeri, khususnya untuk berwisata, juga tidak terlalu berpengaruh.
‘’Pilihan bepergian keluar negeri yang paling besar dipengaruhi oleh harga tiket penerbangan dan biaya perjalanan wisata. Memang akhir-akhir ini, biaya penerbangan di dalam negeri dinilai lebih mahal ketimbang keluar negeri, terutama tujuan negara ASEAN,’’ pungkas Agus.
Dalam keterangan tertulis, Kemenhub menyatakan, penataan bandara secara umum, termasuk bandara internasional, akan terus dievaluasi secara berkelanjutan. Sehingga penataan dan operasional bandara juga akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang.
Lebih lanjut dijelaskan, bandara domestik pada prinsipnya tetap dapat melayani penerbangan luar negeri untuk kepentingan tertentu secara temporer (sementara), setelah mendapatkan penetapan oleh Menteri Perhubungan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. Kegiatan/kepentingan tertentu yang dapat dilakukan di bandara domestik meliputi: kegiatan kenegaraan, kegiatan atau acara yang bersifat internasional, embarkasi dan debarkasi haji, menunjang pertumbuhan ekonomi nasional seperti industri pariwisata dan perdagangan, dan penanganan bencana. ***(Yun Damayanti)