PROF. I NYOMAN SUNARTA: TEMPATKAN ALAM SEBAGAI STAKEHOLDER DALAM PEMBANGUNAN PARIWISATA DAN TINGKATKAN KUALITAS SDM LOKAL
Tourism for Us – Dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia sebagai destinasi belum mengalami overtourism. Karena kunjungan wisatawan belum tersebar merata ke seluruh pulau. Tetapi benar, di destinasi-destinasi pariwisata tertentu, terutama di destinasi-destinasi primadona, sudah mengalami gejala-gejala dan/atau memasuki overtourism. Dan destinasi-destinasi pariwisata baru yang berkembang bukan tidak mungkin bisa jatuh ke dalam overtourism bila tidak dikelola dengan baik.
Apa sebenarnya overtourism dan bagaimana destinasi-destinasi baru bisa terhindar dari overtourism, Prof. Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, M.Si., Guru Besar Bidang Ilmu Pariwisata Berbasis Lingkungan di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Bali, menerangkannya begini:
Ada tiga variabel penilaian apakah suatu destinasi sudah mengalami overtourism. Bila salah satu dari tiga variabel merasa tidak nyaman itu mengindikasikan destinasi tersebut sudah mengalami overtourism.
Variabel paling sepele dan kasat mata adalah antara warga lokal (warlok atau host) dan wisatawannya (guest) baik asing maupun domestik, salah satu di antara mereka, sudah tidak merasa nyaman lagi.
‘’Pertama, kalau orang lokalnya sudah tidak nyaman dan membenci turis berarti sudah over. Kedua, bila wisatawannya merasa tidak mendapatkan ekspetasi perjalanannya di destinasi juga artinya sudah over. Pasti ada yang keliru di destinasi,’’ ujar Sunarta.
Variabel ketiga bisa dilihat dari fisik destinasi seperti terjadi kemacetan di mana-mana, suhu udara semakin panas, dan sumber daya alam semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya.
Regenerative Tourism untuk Bali
Sunarta menegaskan, jangan membandingkan Bali dengan destinasi-destinasi lain di Indonesia. Posisi setiap destinasi berbeda-beda. Maka dari itu kebutuhan penerapan sustainable dan regenerative tourism tidak akan sama antara destinasi yang satu dengan yang lain.
‘’Untuk menerapkan yang mana paling pas di Bali, kita harus melihat pada kenyataan dan fakta-fakta yang ada. Di sini, menurut saya, sustainable tourism tidak pas. Di destinasi Bali yang sekarang jangan sekali-kali membicarakan masalah kuantitatif lagi,’’ katanya.
Tetapi, di destinasi-destinasi lain yang baru mulai didatangi wisatawan tidak harus membatasi jumlah kunjungan. Itu akan menghambat pariwisata di situ. Meskipun demikian, para pemangku kepentingan harus peduli terhadap daya dukung destinasi.
Dia menjelaskan, Waterloo sudah melakukan penelitian tentang sustainable tourism di Bali sejak 1994. Dalam proyek penelitian bertajuk Bali Sustainable Development Project, Waterloo mendapati Pulau Dewata sudah mulai mengalami krisis air.
Pada tahun 2009, Sunarta melakukan penelitian di sembilan kabupaten dan kota di Bali. Waktu itu hasilnya, lima dari sembilan kota/kabupaten masih memiliki sumber air tanah yang cukup.
Penelitian yang sama dilakukannya lagi pada 2013. Hasilnya menunjukkan hanya Kabupaten Bangli yang masih memiliki surplus persediaan air tanah. Persediaan sumber air tanah di kota/kabupaten lain telah menyusut.
Sunarta juga mengungkapkan, Danau Buyan, Tamblingan, Batur dan Beratan semua mengalami sedimentasi tinggi. Volume air di keempat danau yang ada di Bali sudah berkurang.
‘’Bisa dibayangkan. Itu sumber air kita. Kalau sumber-sumber itu berkurang berarti air tanahnya berkurang,’’ katanya.
Ada wacana Bali tidak mungkin sampai kekurangan air tawar bersih. Teknologi penyulingan air laut dapat menjawab kebutuhan air bersih warlok dan pariwisata. Namun pertanyaan berikutnya yang muncul adalah akankah hal itu mampu menopang keberlanjutan daya dukung alam dan lingkungan pulau untuk kehidupan masyarakat dan wisatawan?
Kemudian dia mengungkapkan hasil riset lain yang dilakukannya pada 2023. Risetnya tahun lalu terkait emisi karbon. Hasilnya menunjukkan, di pusat-pusat pariwisata di Bali emisi karbonnya sudah tinggi. Bahkan di daerah yang tidak didatangi wisatawan seperti Desa Culik di timur laut pulau emisi karbonnya cukup tinggi.
Suhu di ibukota provinsi Denpasar rata-rata 34 derajat Celcius sekarang. Itu mengindikasikan kota ini harus membangun danau dan hutan kota di sekitarnya.
Dari penelitian-penelitiannya menunjukkan, daerah-daerah yang paling pesat perkembangan pariwisatanya berada di kantong-kantong sumber daya alam Pulau Bali. Karena di situ topografi dan alamnya nan indah.
‘’Kita harus mengetahui peta destinasi pada waktu ingin mengembangkan pariwisata. Ada di mana dia. Kami di akademik mempelajari teori Life Cycle Tourism. Itulah mengapa, menurut saya, sustainability sudah harus diperhatikan semenjak kita membangun destinasi,’’ terang Sunarta.
Dengan kondisi eksisting alam Bali sekarang, prinsip kehati-hatian merupakan salah satu kunci utama dalam upaya memperbaiki lingkungan dan masyarakat lokal.
Dia mencontohkan, misal di Desa Culik tadi ingin dikembangkan pariwisata. Maka desa itu tidak bisa langsung diinjeksi dengan hal-hal yang sama yang ada di Kuta dan Canggu.
‘’Kalau dia mau bertahan, apa dia punya keberanian menjual yang dia punya, bukan apa yang wisatawan mau?,’’ lanjutnya.
Dalam membangun destinasi pariwisata, mulai dari skala provinsi hingga desa, pemerintah daerah selaku regulator harus tegas menjalankan kebijakan tata ruang dan tata wilayahnya. Regulator harus mampu mengatur di mana boleh berbuat atau melakukan apa.
Dari situ bisa diidentifikasi daya dukung (carrying capacity) suatu wilayah dalam mengakomodasi warlok dan kegiatan wisata. Dan pelaku industri pariwisata dan investor juga punya acuan yang jelas untuk mengembangkan infrastruktur dan produk.
Sunarta mendorong daerah-daerah mengembangkan potensi yang tidak dimiliki daerah lain. Dalam hal ini diperlukan kemampuan mengidentifikasi dan memetakan potensi asli dan keunikan yang dimiliki daerah.
‘’Kalau dibandingkan dengan desa tetangga, adakah potensi kita yang sama seperti yang mereka miliki? Kalau dia ada untuk apa kita kembangkan potensi yang sama. Kita kembangkan potensi yang lain, yang sangat unik dan tidak ada di tempat lain,’’ kata Sunarta.
Setelah dipetakan, potensi itu dikemas. Begitu dikemas dia akan menjadi bagus. Baru kemudian dipasarkan dan dijual. Dia menyayangkan masih banyak destinasi yang mempraktikan belum mengetahui potensinya tetapi sudah dipasarkan.
‘’Alam dan budaya tidak bisa dipisahkan di Bali. Budaya dan adat-istiadat tanpa alam akan hancur. Tujuan dari penelitian-penelitian kami, kapan kita ke sustainability. Kapan kita ke regeneratif. Dan kapan kita ke quality tourism,’’ tambahnya.
Desa Penglipuran.(Foto: Yun Damayanti)
Pariwisata berkualitas bermula dari warga lokal
Seiring dengan adanya indikator overtourism maka variabel pariwisata berkualitas (quality tourism) juga ada tiga yakni sumber daya manusia (SDM) lokalnya harus berkualitas, wisatawan yang datang juga berkualitas, dan destinasinya pun harus berkualitas.
‘’Kalau semua itu belum berkualitas, jangan bicara quality tourism,’’ kata Sunarta.
Dia mengingatkan kembali, quality tourism is not about money. Suatu destinasi pariwisata berkualitas bukan berarti hanya mendatangkan orang-orang kaya. Wisatawan berkualitas ialah mereka datang ke destinasi membawa pengaruh dan manfaat yang baik bagi tuan rumah.
‘’Tahun 1930-an, wisatawan yang datang ke Ubud ialah para seniman. Sekarang writers juga datang ke Ubud. Berikutnya, saya ingin yang datang ke Bali ialah para peneliti (researcher),’’ tuturnya.
Dia berbagi pengalaman ketika bekerja sama dengan seorang peneliti kelautan asal Perancis. Sang peneliti itu sedang melakukan riset hubungan antara terumbu karang (coral) yang sehat dengan wellness tourism. Sang peneliti mencari di mana bisa menemukan hal itu. Selaku orang bali dikatakannya kepada peneliti Perancis itu, wisatawan yang datang untuk menyelam (diving) dan melihat terumbu karangnya sehat maka dia juga akan merasa sehat. Namun bila melihat terumbu karangnya rusak saat menyelam dia akan merasa sedih dan tentu itu tidak baik bagi kesehatannya.
I Nyoman Sunarta menerangkan semua itu di Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2025 yang digelar oleh Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Fowaparekraf), Kamis (10/10/2024), di Hotel Aston Kemayoran, Jakarta.
Dari penjelasan Guru Besar Pariwisata di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Bali, tersebut kami mencatat poin-poin yang bisa diambil untuk dipahami bersama:
Pariwisata sebagai kegiatan ekonomi pasti membawa dampak baik dan buruk terhadap lingkungan maupun masyarakat. Maka pada setiap tahapan dalam membangun destinasi alam mesti ditempatkan sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) utama. Dan kesejahteraan warlok ditempatkan sebagai titik awal dan tujuan akhirnya.
Alam adalah sumber utama pembentuk budaya Nusantara. Pariwisata Indonesia bertumpu pada budaya sehingga kita tidak bisa mengabaikan peran alam.
Alam yang indah dengan segala macam karakter spesifiknya telah menciptakan beragam budaya berbeda-beda di setiap destinasi. Itulah yang mendorong orang-orang mau berkunjung ke Indonesia.
Pembangunan pariwisata harus bisa memastikan destinasi tidak kehilangan sumber daya alamnya untuk menghidupi populasi penduduk yang terus berkembang. Semakin banyak penduduk membutuhkan sumber daya yang besar.
Oleh karena itu prinsip kehati-hatian harus diterapkan sejak awal membangun destinasi. Dan dalam prosesnya membutuhkan kebijakan dan regulasi yang jelas dan tegas serta komitmen menjalankan peraturan oleh semua pihak.
Pertumbuhan jumlah penduduk pasti akan mendorong kebutuhan jaringan aksesibilitas yang lebih luas dan multimoda transportasi. Untuk mengakomodasi kebutuhan itu daerah harus memikirkan bagaimana memindahkan orang-orang dari satu tempat ke tempat lain secara efektif dengan biaya terjangkau.
Kunjungan wisatawan semakin mendorong kebutuhan aksesibilitas dan transportasi di daerah wisata. Wisatawan pasti akan memanfaatkan infrastruktur dan fasilitas publik yang ada di destinasi termasuk transportasi lokal.
Mobilitas masyarakat harus didahulukan ketika membangun infrastruktur aksesibilitas dan sarana publik di daerah. Karena mereka hidup selamanya di destinasi. Sementara wisatawan hanya tinggal dalam jangka waktu tertentu.
Host tidak bisa mengatur/menentukan ke mana wisatawan pergi. Tetapi host bisa menciptakan daya tarik-daya tarik di berbagai titik. Dengan begitu, wisatawan tidak terkonsentrasi di satu area atau wilayah tertentu sehingga di area/wilayah tersebut mengalami kelebihan (over).
Daya tarik yang unik dan berbeda harus dikemas dengan baik sebelum dipasarkan. Dan untuk dapat mencapai daya tarik-daya tarik tersebut wisatawan memerlukan jejaring aksesibilitas dan multimoda transportasi tadi.
Kualitas SDM warga lokal pun harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Agar mereka tidak hanya menjadi obyek atraksi dan sumber tenaga kerja. Tetapi lebih daripada itu, warlok sebagai subyek pemilik destinasi mesti bisa memahami bagaimana mengelola lingkungan dan kehidupannya. ***(Yun Damayanti)