DUSUN TAYU, SANG PENJAGA HERITAGE TEA DI BANGKA BARAT

Tourism for Us – Di Dusun Tayu, Kecamatan Jebus, Parittiga, Kabupaten Bangka Barat, kita dapat melihat kebun teh beserta tradisinya yang telah berlangsung lebih dari 200 tahun. Tapi, jangan bayangkan berada di hamparan kebun teh hijau nan luas di tengah udara dingin.

Sugia Kam, seorang pegiat teh dan anggota komunitas Heritage of Tionghoa Bangka (HETIKA), bertekad menjaga dan mempromosikan heritage tea bangka. (Foto: dok.Sugia Kam)

Pulau Bangka, satu dari dua pulau utama Provinsi Bangka Belitung, relatif tidak memiliki area pegunungan dengan udara sejuk. Selain itu, tanahnya yang kaya timah bukanlah kondisi ideal untuk bercocok tanam. Maka kita akan takjub mendapati pohon teh yang ditanam di pekarangan rumah warga di dataran rendah.

Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, orang-orang Tionghoa yang dahulu datang ke Muntok, sekarang menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat, menanam teh di pekarangan rumahnya untuk keperluan ibadah dan konsumsi pribadi. Kebun-kebun rumahan menyebar ke seluruh Bangka, umumnya di kampung pecinan. Namun sejak tahun 1950-an kebiasaan ini hilang. Orang lebih senang membeli daripada menanam.

Hanya di Dusun Tayu yang masih merawat kebun-kebun teh masa lampau. Kebun-kebun itu dikelola oleh 16 petani. Proses pembuatan tehnya pun masih manual dan tradisional.

Sugia Kam, seorang pegiat teh dan anggota komunitas Heritage of Tionghoa Bangka (HETIKA), menerangkan, teh yang sekarang dikenal sebagai teh tayu itu awalnya dibawa oleh para pekerja tambang timah dari Tiongkok. Mereka akan menanam pohon teh ke manapun ditugaskan untuk melimbang (menambang) timah.

‘’Khususnya di Dusun Tayu, penanaman teh dipelopori oleh seorang tokoh masyarakat di sini. Teh yang dia tanam berhasil. Ketika dia pulang ke Tiongkok dan kembali lagi ke sini, dia bawa lagi bibitnya dan ditanam di Tayu. Melihat itu, masyarakat setempat mengikutinya. Kebun teh di Bangka tidak hanya di Muntok tetapi juga ada di Sungailiat dan Pangkalpinang,’’ ujar Sugia.

Teh tayu merupakan jenis teh hijau (Camelia sinensis). Untuk memperoleh teh berkualitas, daunnya diproses melalui tiga kali penyanggraian. Daun teh disanggrai di dalam kuali besar di atas tungku dengan pengapian dari bahan kayu. Pemrosesannya menghabiskan waktu sekitar satu jam.

Setelah melihat kebun dan pemrosesannya di rumah petani, pelancong dan wisatawan dapat mencicipi rasa teh tayu dan budaya minum tehnya. Masyarakat dusun dan sekitarnya, khususnya peranakan Tionghoa, masih mempraktikan tradisi sajian teh untuk memuja para dewa dan leluhur. Selain itu, budaya minum teh atau yamcha juga masih berlanjut sampai sekarang. Salah satu tempat untuk merasakannya adalah Warung Singgah The Dayang di Dayang Nursery and Garden (DNG).

Perjalanan Sugia melanglang buana mengecap rasa teh di berbagai negara seperti Italia, Singapura, Inggris, Macau, Thailand, dan lainnya memberikan inspirasi. Dia membulatkan tekad untuk membuat kemasan teh yang baik dan membangun suasana tea time khas Bangka di Warung Singgah The Dayang.

Perlu waktu tiga tahun bagi Sugia mendekati para petani supaya mau bekerja sama dengannya. Sampai saat ini, 8 dari 16 petani di Tayu menjadi mitranya. Ia memberikan standar kepada petani agar kualitas teh terjaga. Supaya petani semangat, ia membeli teh mereka dengan harga yang lumayan tinggi per kilogramnya.

DNG sendiri merupakan sebuah kebun percontohan. Kebun ini adalah inisiatif dari Sugia bersama Renita Lestari. Kebunnya berada di lahan orang tua Renita. Melalui Kelompok Dayang Tani, mereka berusaha membantu mensosialisasikan sistem pertanian yang diprogramkan oleh pemerintah. Bahkan sekarang mereka digandeng oleh PT Meroke untuk program CSR, membina petani dalam tanaman hortikultura.

‘’Kami memberlakukan sistem booking untuk tamu-tamu yang mau ke sini. Kami mempromosikan kuliner lokal, teh tayu the heritage tea dan makanan khas kampung di sini. Makannya masih di dalam area kebun. Kebun DNG selain membantu petani juga mempromosikan makanan yang diproduksi oleh UKM lokal,’’ tambah Sugia.

Bangka, Timah dan Teh

Bangka, timah dan teh rupanya terikat hubungan sejarah yang kuat. Timah dari Nusantara dikirim ke Tiongkok untuk digunakan sebagai alat persembahyangan, tungku, alat perang dan pembungkus teh. Kertas timah digunakan sebagai pembungkus agar aroma dan rasa teh tetap kuat. Komoditas teh di Manchuria, Tiongkok, dikirim ke Eropa. Untuk menjaga kualitas teh pada waktu itu maka dibungkus dengan timah.  

Budaya minum teh di Bangka juga unik. Budaya minum teh dibawa oleh para pekerja migran dari Tiongkok. Sampai di Bangka, budaya itu dipengaruhi budaya minum teh Eropa yang menyajikan penganan ringan. Lalu budaya Melayu masuk melalui kue-kue tradisionalnya di setiap waktu minum teh. Dan pelancong dan wisatawan yang mencicipinya hari ini tengah merasakan sebuah produk asimilasi budaya berumur lebih dari dua abad.***(Yun Damayanti) 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *